Berbicara tentang keadilan
sosial terdengar berbicara tentang Pancasila. Sila ke 2 di dalam pancasila
berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Bunyi ini memang sering kita
dengar, karena negara menyadari bahwa keadilan menjadi penentu dari kehidupan
manusia yang sehat. Kemanusiaan yang adil menjadi hasil akhir yang membawa
pengaruh bagi kemanusiaan disekitarnya.
Di dalam jaman ini, hakikat kemanusiaan menjadi semakin
di reduksi. Orang menjadi berguna apabila dia memiliki skill, sedangkan orang
yang tidak memiliki skill ataupun kemampuan hanya bisa terpaku melihat orang
lain menghasilkan selembar kertas yang bernilai. Mungkin ini merupakan kalimat
provokatif yang memang perlu kita refleksikan sebagai umat Kristiani. Karena
ide tentang Kristianitas berlawanan dengan gagasan dunia modern. Ide
Kristianitas yang dimaksud merupakan iman, kasih, dan pengharapan. Terutama
yang paling besar diantaranya merupakan kasih.
Namun, apakah Gereja tinggal diam dalam menghadapi
ketidakadilan? jawabannya tidak. Ajaran Sosial Gereja secara khusus menyatakan
bahwa setiap manusia merupakan makhluk yang berharga dan sangat khusus di mata
Tuhan (bdk. Kej 1:32) Terlebih yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa
martabat tiap manusia sama. Tidak ada manusia yang lebih tinggi dan mampu untuk
‘mengeksploitasi’ manusia yang lainnya.
Penulis masih ingat buku yang dibacanya tentang bagaimana
ratusan warga Israel ketika terjadi Perang Dunia II diselamatkan oleh Kepausan.
Dan ini memiliki resiko yang sangat berat karena dengan luas hanya berapa m2,
Vatikan bisa langsung diduduki oleh Nazi, Jerman. Itu menunjukkan bahwa Gereja
harus mengambil resiko untuk melawan ketidakadilan.
Adil merupakan sikap yang membawa perubahan. Kita harus
membagi dua hal menjadi sama dan itu merupakan pengertian sederhana keadilan.
Keadilan menjadi semakin semu dewasa ini, karena sikap egosentrisme yang kita
miliki. Bahwa kadang, keadilan dihilangkan dan dengan mudahnya kita mengatakan
hal itu adil tetapi itu bukan keadilan. Yang ada adalah bahwa aku memberikan sesuatu kepadamu karena kamu
memberikan aku sesuatu. Hubungan timbal balik yang ‘mesra’ menjadi akhir
dari pergaulan kita.
Tetapi, adil dalam ‘Kamus’ Gereja yaitu kita memberikan
sesuatu dengan pas sesuai dengan takaran dan berbuat lewat hati. Ketika hati
manusia rusak, maka manusia tidak bisa berbuat sesuai dengan nurani yang
jernih. Semua hubungan menjadi rusak. Antara Aku, Tuhan, dan Sesama. Dan ketika
semua hubungan rusak, yang ada di kita adalah kekosongan yang tidak dimengerti
Sebagai bahan permenungan yang harus dicapai oleh tiap
individu yaitu apakah kita sudah adil dalam ‘membagi’ perasaan kita kepada
sesama atau karena dia berguna? Gambaran sesama merupakan gambaran manusia yang
diciptakan Allah. Sekian.