Ekaristi
telah menjadi warisan tradisi Gereja Katolik. Sejak Jaman Petrus sampai dengan
Benediktus XVI, Ekaristi telah mengalami dinamika perkembangan sejarah, dan
terus menjadi kekayaan mendalam Gereja dan Umat Allah. Ekaristi ini, sudah
mengalami perkembangan dari Misale Romanum Pius V, Konsili Trente, dan juga
Konsili Vatikan II dengan dokumen SC (Sacrosanctum Concilium), dan tetaplah
bahwa Ekaristi menjadi puncak dari kehidupan umat Kristiani (Lumen Gentium 11).
Perkembangan ini didasari oleh Roh Kudus, dan pembaharuannya masih berlangsung
hingga saat ini.
Ekaristi menjadi satu-satunya dasar
bagi kita berkumpul sebagai umat Kristiani, jika kita hari Minggu ke gereja,
kita akan menyadari bahwa satu-satunya alasan kita berkumpul adalah untuk
merayakan dan mengenangkan (anamnese) Kristus yang telah berkurban bagi kita
hanya lewat dan melalui Ekaristi. Oleh
sebab itu, dalam DSA II ada kalimat “agar
kami yang menerima Tubuh dan Darah Kristus dihimpun menjadi satu umat oleh Roh Kudus”. Dan dengan
demikian dimensi persekutuan, dimensi komunitas ditemukan lewat Ekaristi
(Sacramentum Caritatis 15)
Adakah jalan Ekaristi yang membentuk
komunitas? Jawabannya ada. Coba sekarang kita termenung sejenak menyadari bahwa
setiap Hari Minggu setelah misa selesai, umat memiliki agenda pelayanan
tersendiri. Ada yang menjadi pembina BIA-BIR (Bina Iman Anak-Remaja), ada PSE,
dan juga Legio Maria. Tentunya kegiatannya masih diperluas lagi. Dan ini
membuktikan bahwa Ite Missa Est memiliki
segi perutusan yang benar-benar nyata. Lebih jauh lagi, Ekaristi memberi bekal
kita untuk berkegiatan rohani sepanjang Minggu.
Saya masih ingat dengan cerita Henry
Nouwen, salah satu Imam penulis yang baik mengenai Ekaristi. Bagaimana di suatu
hari, di dalam kegiatan di Panti Asuhannya dengan anak-anak yang terlantar, ia
mengakui bahwa Ekaristi menjadi bekal di dalam berkomunitas dan berkomitmen
menyebarkan Kristus yang telah berkurban. Pengalaman ini begitu nyata,
bagaimana pernah ia menangis bersama anak panti asuhan yang berdoa hanya dari
kedalamman hatinya. Ada satu cerita lagi megenai Pedro Arrupe, seorang Jendral
Jesuit saat Hirosima dan Nagasaki di luluhlantahkan oleh Fat Man dan Little
Boy. Saat ia berada di Novisiat Nagasaki, ia harus membuka pintu rumahnya bagi
para korban bom. Arrupe sendiri merupakan seorang dokter. Dan pengalaman yang
ditulis dalam biografinya, adalah mengenai misa yang dilakukan ditengah
kerumunan orang yang menderita. Bahkan kapelnya dijadikan tempat untuk merawat
orang sakit. Buahnya adalah bagaimana orang yang dirawatnya setelah sembuh
pasca PD II ingin dibaptis dan menjadi Katolik. Orang tersebut merasakan
Ekaristi menjadi pendorong seseorang bersatu menjadi bagian komunitas.
Komunitas merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Ekaristi. Kasih terhadap Allah tidak dapat dipisahkan juga
dengan kasih kepada sesama (bdk. Mrk 12: 24-38). Mari kita bagikan kasih yang
kita dapatkan dari EKARISTI ke dalam komunitas. Ad Maioreim Dei Gloriam