Saturday, May 12, 2012

Adilkah Jaman Ini?


Berbicara tentang keadilan sosial terdengar berbicara tentang Pancasila. Sila ke 2 di dalam pancasila berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Bunyi ini memang sering kita dengar, karena negara menyadari bahwa keadilan menjadi penentu dari kehidupan manusia yang sehat. Kemanusiaan yang adil menjadi hasil akhir yang membawa pengaruh bagi kemanusiaan disekitarnya.
            Di dalam jaman ini, hakikat kemanusiaan menjadi semakin di reduksi. Orang menjadi berguna apabila dia memiliki skill, sedangkan orang yang tidak memiliki skill ataupun kemampuan hanya bisa terpaku melihat orang lain menghasilkan selembar kertas yang bernilai. Mungkin ini merupakan kalimat provokatif yang memang perlu kita refleksikan sebagai umat Kristiani. Karena ide tentang Kristianitas berlawanan dengan gagasan dunia modern. Ide Kristianitas yang dimaksud merupakan iman, kasih, dan pengharapan. Terutama yang paling besar diantaranya merupakan kasih.
            Namun, apakah Gereja tinggal diam dalam menghadapi ketidakadilan? jawabannya tidak. Ajaran Sosial Gereja secara khusus menyatakan bahwa setiap manusia merupakan makhluk yang berharga dan sangat khusus di mata Tuhan (bdk. Kej 1:32) Terlebih yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa martabat tiap manusia sama. Tidak ada manusia yang lebih tinggi dan mampu untuk ‘mengeksploitasi’ manusia yang lainnya.
            Penulis masih ingat buku yang dibacanya tentang bagaimana ratusan warga Israel ketika terjadi Perang Dunia II diselamatkan oleh Kepausan. Dan ini memiliki resiko yang sangat berat karena dengan luas hanya berapa m2, Vatikan bisa langsung diduduki oleh Nazi, Jerman. Itu menunjukkan bahwa Gereja harus mengambil resiko untuk melawan ketidakadilan.
            Adil merupakan sikap yang membawa perubahan. Kita harus membagi dua hal menjadi sama dan itu merupakan pengertian sederhana keadilan. Keadilan menjadi semakin semu dewasa ini, karena sikap egosentrisme yang kita miliki. Bahwa kadang, keadilan dihilangkan dan dengan mudahnya kita mengatakan hal itu adil tetapi itu bukan keadilan. Yang ada adalah bahwa aku memberikan sesuatu kepadamu karena kamu memberikan aku sesuatu. Hubungan timbal balik yang ‘mesra’ menjadi akhir dari pergaulan kita.
            Tetapi, adil dalam ‘Kamus’ Gereja yaitu kita memberikan sesuatu dengan pas sesuai dengan takaran dan berbuat lewat hati. Ketika hati manusia rusak, maka manusia tidak bisa berbuat sesuai dengan nurani yang jernih. Semua hubungan menjadi rusak. Antara Aku, Tuhan, dan Sesama. Dan ketika semua hubungan rusak, yang ada di kita adalah kekosongan yang tidak dimengerti
            Sebagai bahan permenungan yang harus dicapai oleh tiap individu yaitu apakah kita sudah adil dalam ‘membagi’ perasaan kita kepada sesama atau karena dia berguna? Gambaran sesama merupakan gambaran manusia yang diciptakan Allah. Sekian.