Thursday, December 20, 2012

Ekaristi dan Komunitas


Ekaristi telah menjadi warisan tradisi Gereja Katolik. Sejak Jaman Petrus sampai dengan Benediktus XVI, Ekaristi telah mengalami dinamika perkembangan sejarah, dan terus menjadi kekayaan mendalam Gereja dan Umat Allah. Ekaristi ini, sudah mengalami perkembangan dari Misale Romanum Pius V, Konsili Trente, dan juga Konsili Vatikan II dengan dokumen SC (Sacrosanctum Concilium), dan tetaplah bahwa Ekaristi menjadi puncak dari kehidupan umat Kristiani (Lumen Gentium 11). Perkembangan ini didasari oleh Roh Kudus, dan pembaharuannya masih berlangsung hingga saat ini.
            Ekaristi menjadi satu-satunya dasar bagi kita berkumpul sebagai umat Kristiani, jika kita hari Minggu ke gereja, kita akan menyadari bahwa satu-satunya alasan kita berkumpul adalah untuk merayakan dan mengenangkan (anamnese) Kristus yang telah berkurban bagi kita hanya lewat dan melalui  Ekaristi. Oleh sebab itu, dalam DSA II ada kalimat “agar kami yang menerima Tubuh dan Darah Kristus dihimpun menjadi satu umat oleh Roh Kudus”. Dan dengan demikian dimensi persekutuan, dimensi komunitas ditemukan lewat Ekaristi (Sacramentum Caritatis 15)
            Adakah jalan Ekaristi yang membentuk komunitas? Jawabannya ada. Coba sekarang kita termenung sejenak menyadari bahwa setiap Hari Minggu setelah misa selesai, umat memiliki agenda pelayanan tersendiri. Ada yang menjadi pembina BIA-BIR (Bina Iman Anak-Remaja), ada PSE, dan juga Legio Maria. Tentunya kegiatannya masih diperluas lagi. Dan ini membuktikan bahwa Ite Missa Est memiliki segi perutusan yang benar-benar nyata. Lebih jauh lagi, Ekaristi memberi bekal kita untuk berkegiatan rohani sepanjang Minggu.
            Saya masih ingat dengan cerita Henry Nouwen, salah satu Imam penulis yang baik mengenai Ekaristi. Bagaimana di suatu hari, di dalam kegiatan di Panti Asuhannya dengan anak-anak yang terlantar, ia mengakui bahwa Ekaristi menjadi bekal di dalam berkomunitas dan berkomitmen menyebarkan Kristus yang telah berkurban. Pengalaman ini begitu nyata, bagaimana pernah ia menangis bersama anak panti asuhan yang berdoa hanya dari kedalamman hatinya. Ada satu cerita lagi megenai Pedro Arrupe, seorang Jendral Jesuit saat Hirosima dan Nagasaki di luluhlantahkan oleh Fat Man dan Little Boy. Saat ia berada di Novisiat Nagasaki, ia harus membuka pintu rumahnya bagi para korban bom. Arrupe sendiri merupakan seorang dokter. Dan pengalaman yang ditulis dalam biografinya, adalah mengenai misa yang dilakukan ditengah kerumunan orang yang menderita. Bahkan kapelnya dijadikan tempat untuk merawat orang sakit. Buahnya adalah bagaimana orang yang dirawatnya setelah sembuh pasca PD II ingin dibaptis dan menjadi Katolik. Orang tersebut merasakan Ekaristi menjadi pendorong seseorang bersatu menjadi bagian komunitas.
            Komunitas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Ekaristi. Kasih terhadap Allah tidak dapat dipisahkan juga dengan kasih kepada sesama (bdk. Mrk 12: 24-38). Mari kita bagikan kasih yang kita dapatkan dari EKARISTI ke dalam komunitas. Ad Maioreim Dei Gloriam