ENSIKLIK
DEUS
CARITAS EST
BAPA
SUCI BENEDIKTUS XVI
KEPADA
PARA USKUP, IMAM DAN DIAKON
KAUM
RELIGIUS DAN SEMUA UMAT BERIMAN
TENTANG
CINTA KASIH KRISTIANI
PENGANTAR
1. "Allah
adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, dia tetap berada dalam
Allah dan Allah dalam dia" (1 Yoh 4,16). Kata-kata dari surat pertama
Yohanes ini mengungkapkan secara jelas inti terdalam dari iman Kristiani:
gambaran Kristiani akan Allah dan buah gambaran akan umat manusia dan
panggilannya. Dalam ayat yang sama, Santo Yohanes memberikan ringkasan akan
hidup Kristiani, "Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah
kepada kita".
Kita telah menjadi percaya dalam kasih Allah: dalam
kata-kata ini umat Kristiani dapat menyatakan keputusan-keputusan mendasar
hidupnya. Menjadi Kristiani bukanlah buah dari pilihan etis atau gagasan
cemerlang, namun dari perjumpaan dalam realitas, dengan seorang pribadi, yang
hidupnya memberikan wawasan baru dan pengarahan mendasar. Injil Santo Yohanes
menggambarkan peristiwa tersebut dengan ungkapan, "Karena begitu besar
kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang
tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya ... memperoleh hidup yang
kekal" (Yoh 3,16). Dengan menyadari pentingnya kasih, iman Kristiani
mengungkap kembali, dengan memberikan pendasaran dan cakupan baru, inti dari
iman Israel. Umat Yahudi yang saleh mendoakan setiap hari kata-kata dari Kitab
Ulangan, "Dengarkanlah hai umat Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu
esa! Kasihanilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul 6,4-5). Yesus menyatukan perintah kasih
pada Allah dengan perintah kasih akan sesama, sebagaimana ditemukan dalam Kitab
Imamat, "Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Im
19,18; lih. Mark 12,29-31), dalam satu ajaran. Karena Allah terlebih dahulu
mengasihi kita (lih 1 Yoh 4,10), maka kasih tidak lagi sekedar sebagai suatu
'perintah', namun merupakan tanggapan akan rahmat kasih yang menjadikan Allah
menjadi dekat dengan kita.
Di tengah dunia di mana nama Allah seringkali
dikaitkan dengan balas dendam atau tindakan kebencian dan kekerasan, pesan ini
menjadi aktual dan penting. Dengan alasan ini saya bermaksud dalam ensiklik
pertama saya ini berbicara tentang kasih, yang dicurahkan Allah secara
berlimpah kepada kita dan karenanya harus kita bagikan kepada sesama. Inilah,
pada intinya, yang dibicarakan dalam dua dua bagian pokok dari surat ini, dan
keduanya saling terkait satu sama lain. Bagian pertama lebih spekulatif,
sebagaimana saya inginkan di sini - di awal masa kepausan saya - untuk
memperjelas beberapa fakta-fakta dasar terkait dengan kasih, yang telah secara
misterius dan melimpah dicurahkannya kepada umat manusia, bersama dengan kaitan
tak terpisahkan antara kasih dan kenyataan cinta manusiawi. Bagian kedua
berbicara secara lebih konkret, sebagaimana ditandai dengan pewujudan kristiani
perintah kasih akan sesama. Pernyataan ini memiliki implikasi meluas, karenanya
pewujudannya secara menyeluruh akan melampaui cakupan ensiklik ini. Saya ingin
menekankan beberapa unsur dasar, untuk menantang dunia bagi terbangunnya
pembaharuan semangat dan komitmen dalam menanggapi kasih Allah.
BAGIAN
I
KESATUAN
KASIH
DALAM
PENCIPTAAN DAN SEJARAH KESELAMATAN
Persoalan
bahasa
2. Cinta kasih
Allah kepada kita merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan kita,
karena hal itu membawa kita sampai pada pertanyaan penting tentang siapakah
Allah dan siapakah diri kita. Dengan menyadari hal itu, kita akan langsung
menghadapi persoalan bahasa. Dewasa ini, kata 'cinta' telah menjadi kata yang
sering dipakai namun pula disalahpahami, sebuah kata yang kita mengerti dalam
berbagai arti yang berbeda. Betapapun ensiklik ini terutama berbicara mengenai
pemahaman serta penghayatan cinta kasih berdasarkan Kitab Suci dan tradisi
Gereja, namun kita tidak dapat menghindar dari pengertian mengenai cinta dalam
berbagai budaya dan penggunaannya dewasa ini.
Baiklah pertama-tama kita lihat cakupan semantik
dari kata cinta: cinta akan tanah air, cinta akan suatu profesi, cinta antar
sahabat, cinta akan pekerjaan, cinta antara orangtua dan anak, cinta antar
anggota keluarga, cinta akan sesama dan cinta akan Allah. Akan tetapi di antara
keberagaman pengertian ini, orang akan secara khusus memberikan perhatian akan:
cinta antara pria dan wanita, di mana tubuh dan jiwa bersatu secara tak
terpisahkan dan dengannya memandang harapan besar akan kebahagiaan. Cinta dalam
gambaran ini akan mudah dipandang sebagai wujud paling nyata dari cinta,
sehingga segala wujud cinta yang lain cenderung tidak akan ditempatkan sebagai
bandingan dari bentuk cinta antara pria-wanita. Karena itu akan langsung muncul
pertanyaan: semua bentuk pewujudan cinta yang ada itu pada dasarnya satu, cinta
dalam berbagai pewujudan dari realitas cinta yang satu dan sama, ataukah kita
menggunakan kata yang sama untuk menggambarkan realitas yang sama sekali
berbeda?
"Eros"
dan "Agape" – perbedaan dan kesamaannya
3. Cinta antara
pria dan wanita bukanlah sesuatu yang tidak disadari ataupun diinginkan, sebab
hal itu merupakan sesuatu yang melekat pada umat manusia, sebagaimana disebut
sebagai eros dalam ungkapan Yunani kuno. Mari kita simak secara singkat bahwa
Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani hanya dua kali menggunakan kata eros,
sementara Perjanjian Baru sama sekali tidak menggunakan kata itu. Dari tiga
kata Yunani lain akan cinta: eros, philia (cinta persahabatan) dan agape,
penulis Perjanjian Baru lebih memakai yang terakhir, yang sebenarnya jarang
muncul dalam bahasa Yunani. Sedangkan kata philia, cinta persahabatan, dipakai
dalam pengertian secara mendalam oleh Santo Yohanes untuk menggambarkan relasi
antara Yesus dengan para muridnya. Kecenderungan untuk menghindari pemakaian
kata eros, dengan mengungkapkan pemahaman baru akan cinta dengan memakai kata
agape, jelas memperlihatkan sesuatu yang baru dan berbeda dalam pemahaman
Kristiani mengenai cinta. Dalam kritik akan Kristianitas, yang diawali dalam
masa Fajar Budi (Enlightenment) dan kemudian berkembang secara radikal,
kenyataan ini dipandang secara negatif. Menurut Friedrich Nietzsche,
Kristianitas telah meracuni kata eros, karena tidak memahami secara utuh, dan
mereduksinya dalam pengertian yang sebaliknya . Di sini filsuf Jerman tersebut
menggambarkan persepsi yang beredar secara umum: bukankah dengannya Gereja,
dengan segala perintah dan larangannya, menampik apa yang paling berarti dalam
kehidupan? Bukankah dengannya Gereja melebih-lebihkan pengertian tentang
kegembiraan, yang dianugerahkan Pencipta kepada kita sebagai kebahagiaan hanya
sebagai pengertian yang melulu ilahi?
4. Inikah
persoalannya? Apakah Gereja memang telah merusak pengertian mengenai eros?
Marilah kita menyimak dunia pra-Kristiani. Orang-orang Yunani - tidak seperti
dalam budaya lain - pada dasarnya memahami eros pertama-tama sebagai kemabukan,
rasionalisasi secara berlebihan dalam "kegilaan ilahi" (divine
madness), yang menjauhkan manusia dari keterbatasan dirinya dan memampukannya,
dalam kondisi keberlimpahan daya ilahi, mengalami kebahagiaan tertinggi. Segala
kekuatan surgawi dan duniawi menjadi kurang penting, "Omnia vincit
amor" demikian kata Virgil dallam Bucolics — cinta mengatasi segala — dan
dia menambahkan, "et nos cedamus amori"— marilah kita memberikan diri
kepada cinta . Di dalam agama-agama, pandangan ini menemukan pewujudannya dalam
ritus kesuburan, bagian dari apa yang dinamakan sebagai pelacuran 'suci' yang
dijalankan di banyak kuil. Eros dengan demikian dirayakan sebagai kuasa ilahi,
keikutsertaan bersama yang Ilahi.
Perjanjian lama jelas tegas menentang cara beragama
seperti ini, karena sangat bertentangan dengan iman monoteistik, sehingga
dilawannya sebagai penyalahgunaan religiositas. Dengan menolak eros yang
seperti itu, diperanginya bentuk penyalahgunaan dan pembusukan dalam dirinya,
karena dengan memberi bentuk illahi secara palsu akan eros sebenarnya merampas
keluhuran martabatnya dan menodainya. Tak terelakkan, praktek pelacuran kuil,
dengan menghadirkan kemabukan illahi seperti itu, menodai kemanusiaan dan
kepribadian, dan menggunakannya sebagai sarana untuk menumbuhkan "kegilaan
ilahi": jauh dari menjadi ilahi, mereka mengeksploitasi umat manusia.
Kemabukan dan kelepaskontrolan eros, akhirnya bukanlah sesuatu yang menuntun
dalam 'ekstase' kepada Yang Ilahi, sebaliknya suatu kejatuhan, suatu degradasi
pada pribadi manusia. Jelas, dengan demikian, eros perlu ditata dan dimurnikan,
agar tidak sekedar dimaksudkan bagi kepuasan sesaat, sebaliknya dimaksudkan
untuk menandakan kemendalaman pribadi kita, sehingga kebahagiaan bagi
keseluruhan diri pribadi dapat dipetik.
5. Dua sisi arus muncul jelas dari amatan singkat akan gagasan tentang eros di masa lalu dan di saat dewasa ini. Pertama, ada relasi tertentu antara cinta dan Keilahian: cinta menjanjikan pada keabadian, ketakterbatasan - realitas yang jauh lebih besar dan utuh daripada keberadaan kita sehari-hari. Secara bersamaan kita telah melihat bahwa cara untuk mencapainya tidak dengan begitu saja mengikuti dorongan naluri. Pemurnian dan pertumbuhan dalam kedewasaan dibutuhkan pula, dan hal itu dibuahkan lewat jalan pengorbanan. Jauh daripada penolak atau meracuni eros, mereka menyembuhkannya dan memulihkan martabatnya secara benar.
5. Dua sisi arus muncul jelas dari amatan singkat akan gagasan tentang eros di masa lalu dan di saat dewasa ini. Pertama, ada relasi tertentu antara cinta dan Keilahian: cinta menjanjikan pada keabadian, ketakterbatasan - realitas yang jauh lebih besar dan utuh daripada keberadaan kita sehari-hari. Secara bersamaan kita telah melihat bahwa cara untuk mencapainya tidak dengan begitu saja mengikuti dorongan naluri. Pemurnian dan pertumbuhan dalam kedewasaan dibutuhkan pula, dan hal itu dibuahkan lewat jalan pengorbanan. Jauh daripada penolak atau meracuni eros, mereka menyembuhkannya dan memulihkan martabatnya secara benar.
Hal ini terkait pertama-tama dan pada dasarnya pada
kenyataan bahwa manusia diciptakan dengan badan dan jiwa. Pribadi manusia
menjadi dirinya sendiri, ketika badan dan jiwanya secara utuh menyatu;
tantangan akan eros dapat dikatakan teratasi jika kesatupaduan ini tercapai.
Jika manusia hanya roh murni dan tubuh hanya dinilai sekedar sebagai kodrat
kebinatangan belaka, roh dan badan kehilangan martabatnya. Sebaliknya pula,
jika seseorang menyangkal akan adanya roh dan hanya mengakui badan sebagai
satu-satunya realitas, dia akan kehilangan keluhurannya. Seorang pencicip
kelezatan hidangan Gassendi mengucapkan salam kepada Descartes dengan
mengatakan, "Oh, Roh!". Dan Descartes akan menjawab, "Oh,
tubuh!" . Akan tetapi bukan hanya jiwa belaka atau tubuh belaka yang
dicintai: adalah pribadi manusia, ciptaan utuh yang terdiri dari jiwa dan
badan, yang dicintai. Hanya jika kedua dimensi tersebut sungguh bersatupadu,
manusia akan mencapai kepenuhan gambaran dirinya. Hanya cinta seperti ini
—eros— dapat berkembang utuh dan mencapai keluhurannya secara utuh.
Akhir-akhir ini, sering dikritik bahwa Kristianitas
masa lalu menentang tubuh; kecenderungan seperti itu memang masih tampak. Akan
tetapi saat ini kecenderungan untuk memuja tubuh menjadi ilusi. Eros, yang
direduksi sekedar sebagai "seks", telah menjadi komoditi, sekedar
sebagai "barang" yang dapat dibeli dan dijual, atau lebih lagi,
pribadi manusia menjadi komoditi. Hal ini bukanlah suatu ungkapan penuh
"Ya" manusia akan tubuh. Sebaliknya, dia kini menyadari tubuh dan
seksualitasnya hanya sekedar menjadi bagian material akan dirinya, digunakan
dan dieksploitasi seturut kehendaknya. Dengannya dia tidak menempatkannya
sebagai pewujudan kebebasannya, namun sekedar sebagai objek yang dia coba,
sejauh dia inginkan, baik untuk memuaskan atau melukai diri. Di sini kita, pada
kenyataannya, melihat adanya perendahan tubuh manusiawi: tidak lagi
terintegrasi kepada keseluruhan kebebasan eksistensial kita; tidak lagi menjadi
ungkapan mendalam dari keutuhan diri kita, namun kurang lebih dipersempit
sekedar dalam cakupan biologis belaka. Tanda-tanda pemujaan tubuh dapat dengan
segera beralih dengan membenci kejasmanian. Iman Kristiani, sebaliknya,
senantiasa menyadari pribadi manusia sebagai kesatuan yang berdimensi ganda,
sebuah realitas di mana yang rohani dan jasmani saling melengkapi satu sama
lain, sehingga dengannya masing-masing menemukan keluhurannya. Benar, eros yang
mengarah dalam "ekstase" akan Yang Ilahi, akan menuntun kita untuk
mengatasi diri kita; dan untuk memenuhi ini dituntut kita menelusuri jalan bagi
pertumbuhan, pengorbanan, pemurnian diri dan penyembuhan.
6. Secara konkret, bagaimana jalan pertumbuhan dan pemurnian ini ditapaki? Bagaimana cinta dapat dialami sehingga dapat mewujudkan secara penuh harapan manusiawi dan rohani? Di sini kita dapat menemukan pertama-tama indikasi pentingnya dalam kitab Kidung Agung, kitab dalam Perjanjian Lama yang sangat dikenal para mistikus Menurut penafsiran yang secara umum dipahami dewasa ini, syair-syair yang termuat dalam kitab itu pada dasarnya adalah kidung cinta, yang mungkin dimaksudkan bagi pesta perkawinan Yahudi dan dimaksudkan untuk mengagungkan cinta perkawinan, Dalam konteks ini sangatlah berguna untuk mencatat bahwa dalam susunan buka tersebut dua kata Ibrani dipakai untuk menggambarkan "cinta". Pertama adalah kata dodim, bentuk jamak yang menandakan sebuah cinta yang tetap tidak pasti, tak tergambarkan secara jelas dan karena masih terus dalam pencarian. Kata ini dipakai untuk menggantikan kata ahabĂ , yang dalam kitab Perjanjian lama bahasa Yunani diterjemahkan dengan kata yang terdengar berbunyi sama, agape, yang, sebagaimana telah kita lihat, menjadi ungkapan khas dalam Kitab Suci. Berbeda dengan tentang cinta yang tak terumuskan dan dalam pencarian, kata ini mengungkapkan cinta yang memuat suatu pencarian konkret akan yang lain, bergerak mengatasi ciri egoistis yang tampak dalam pengertian kata sebelumnya. Cinta tidak lagi suatu pencarian diri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan, namun mencari apa yang baik pada mereka yang dicintai: itu menjadi penyerahan diri dan sedia, bahkan berkehendak, untuk berkorban.
6. Secara konkret, bagaimana jalan pertumbuhan dan pemurnian ini ditapaki? Bagaimana cinta dapat dialami sehingga dapat mewujudkan secara penuh harapan manusiawi dan rohani? Di sini kita dapat menemukan pertama-tama indikasi pentingnya dalam kitab Kidung Agung, kitab dalam Perjanjian Lama yang sangat dikenal para mistikus Menurut penafsiran yang secara umum dipahami dewasa ini, syair-syair yang termuat dalam kitab itu pada dasarnya adalah kidung cinta, yang mungkin dimaksudkan bagi pesta perkawinan Yahudi dan dimaksudkan untuk mengagungkan cinta perkawinan, Dalam konteks ini sangatlah berguna untuk mencatat bahwa dalam susunan buka tersebut dua kata Ibrani dipakai untuk menggambarkan "cinta". Pertama adalah kata dodim, bentuk jamak yang menandakan sebuah cinta yang tetap tidak pasti, tak tergambarkan secara jelas dan karena masih terus dalam pencarian. Kata ini dipakai untuk menggantikan kata ahabĂ , yang dalam kitab Perjanjian lama bahasa Yunani diterjemahkan dengan kata yang terdengar berbunyi sama, agape, yang, sebagaimana telah kita lihat, menjadi ungkapan khas dalam Kitab Suci. Berbeda dengan tentang cinta yang tak terumuskan dan dalam pencarian, kata ini mengungkapkan cinta yang memuat suatu pencarian konkret akan yang lain, bergerak mengatasi ciri egoistis yang tampak dalam pengertian kata sebelumnya. Cinta tidak lagi suatu pencarian diri, tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan, namun mencari apa yang baik pada mereka yang dicintai: itu menjadi penyerahan diri dan sedia, bahkan berkehendak, untuk berkorban.
Hal itu merupakan bagian dari cinta yang tumbuh
menuju tingkat yang lebih tinggi dan pemurnian diri yang berusaha untuk menjadi
semakin pasti, dan berjalan demikian dalam dua pengertian: dalam pengertian
eksklusif (untuk orang tertentu saja) dan dalam pengertian "untuk selalu".
Cinta memuat keseluruhan diri dalam masing-masing dimensinya, termasuk dalam
dimensi waktu. Tidak bisa menjadi sesuatu yang lain, karena cinta itu
menjanjikan suatu tujuan yang pasti: cinta memandang keabadian. Cinta sungguh
adalah suatu 'ekstase', bukan dalam pengertian saat mabuk, namun lebih sebagai
suatu perjalanan, perjalanan untuk terus-menerus keluar dari pemusatan diri
menuju pada pembebasan melalui pemberian diri, dan kemudian menuju pada
pencarian diri secara sungguh, dan pencarian akan Allah. "Barangsiapa
memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan
nyawanya, ia akan menyelamatkannya" (Luk 17,33), sebagaimana dikatakan
Yesus dalam Injil (lih pula Mat 10,39; 16,25; Mrk 8,35; Luk 9,24; Yoh 12,25).
Dengan kata-kata ini Yesus menggambarkan jalan yang ditapakinya, yang menuntun
melalui Salib menuju kebangkitan: jalan biji gandum yang jatuh ke tanah dan
mati, dan karenanya menghasilkan banyak buah. Berangkat dari kemendalaman
pengorbanan dirinya dan cinta yang mencapai kepenuhan di dalamnya, Dia
menggambarkan dengan kata-kata itu inti dari kasih dan karenanya kehidupan umat
manusia sendiri.
7. Pendasaran kita
untuk memahami pengertian tentang makna cinta kasih, yang lebih merupakan
refleksi filosofis akan hakikat cinta telah membawa kita masuk kedalam iman
kitab suci. Kita mengawalinya dengan mempertanyakan apakah perbedaan, atau
tepatnya sesuatu yang bertentangan, dari pengertian dari kata 'cinta' yang ada,
menunjuk pada sesuatu yang memiliki aspek penyatu secara mendasar, ataukah
sebaliknya mereka tetap saling tak berhubungan satu sama lain, yang satu berada
di sisi yang lain. Namun secara mendalam, kita mempertanyakan apakah pesan
cinta kasih yang diwartakan Injil dan tradisi Gereja memiliki keterkaitan
dengan pengalaman bersama umat manusia akan cinta, ataukah malahan bertentangan
dengan pengalaman tersebut. Semua ini membawa kita untuk mengenali dua kata
dasar: eros, sebuah istilah yang lebih menandakan cinta 'duniawi' dan agape,
yang mengacu padda cinta yang didasarkan dan dibentuk pada iman. Dua gagasan
tersebut tidak jarang terbedakan sebagai cinta yang "naik"
(menumbuhkan gairah) dan cinta yang "turun" (melepaskan diri). Ada
pula gagasan lain yang berdasarkan kriteria sama lalu membedakan antara cinta
posesif dan cinta dalam pemberian diri dalam kemurahan hati (amor
concupiscentiae – amor benevolentiae), yang kadang ditambahkan pula cinta yang
mencari keuntungan dirinya sendiri.
Dalam perbincangan filsafat dan teologi pengartian
ini kadang secara berlebihan dibicarakan untuk menetapkan suatu pembedaan yang
saling mempertentangkan satu sama lain: cinta yang 'turun', cinta kemurahan
hati —agape— merupakan sesuatu yang khas Kristiani, sementara sebaliknya, cinta
yang 'naik', posesif dan nafsu —eros— khas budaya non Kristiani, terlebih
budaya Yunani. Jika anti tesis ini ditempatkan secara ekstrem, hakekat
Kristianitas akan dijauhkan dari relasi vital mendasar umat manusia, dan
terlepas dari dunia, mungkin dikagumi namun secara hakiki terpisah dari
keseluruhan struktur kehidupan umat manusia. Akan tetapi eros dan agape — cinta
yang menumbuhkan gelora dan cinta yang melepaskan diri — sama sekali tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Lebih daripada itu semua, semakin keduanya,
dalam aspek yang berbeda, menemukan kesatuan yang tepat dalam satu realitas
kasih, semakin kodrat sejati cinta diwujudkan. Maka kalau eros, betapapun
pertama-tama berupa gairah yang semakin menggelora, sebagai suatu daya tarik
bagi janji kebahagiaan, semakin terarah pada yang lain, dia akan semakin tidak
berpusat pada diri sendiri, dan semakin mencari kebahagiaan yang lain, ingin
semakin bersama dia yang dicintai, semakin memberikan dirinya dan hadir bagi
yang lain. Unsur agape kemudian menyatu dengan cinta tersebut, sebaliknya eros
semakin melemah dan kehilangan hakekatnya. Sebaliknya, orang tidak dapat hidup
hanya dengan cinta kemurahan hati, kasih yang memberikan diri. Dia tidak bisa
hanya selalu memberi, dia juga harus menerima. Seseorang yang ingin memberikan
cintanya harus pula menerima cinta sebagai suatu hadiah. Tentu, sebagaimana
Tuhan mengajarkannya kepada kita, seseorang dapat menjadi sumber yang darinya
mengalir air kehidupan (lih Yoh 7, 37-38).
Dalam menjelaskan kisah tangga Yakub, para Bapa
Gereja melihat adanya relasi tak terpisahkan antara cinta yang naik dan yang
turun, antara eros yang mencari Allah dan agape yang tumbuh dalam hadiah yang
diterima, dalam berbagai bentuk yang menandainya. Dalam bagian Kitab Suci itu
kita membaca bagaimana Bapa Yakub melihat dalam sebuah mimpi tidurnya, dengan
batu sebagai alas kepalanya, sebuah tangga yang ujungan sampai ke langit,
dengan Malaikat-malaikat Allah turun-naik (lih Kej 28,12; Yoh 1,51). Secara
khusus penafsiran yang mengagumkan ini dikatakan oleh Paus Gregorius Agung
dalam Patokan Pastoralnya. Dia menceriterakan bahwa gembala yang baik harus
berakar pada kontemplasi. Hanya dengan demikian dia dapat menanggung dalam
dirinya sendiri kebutuhan sesama, "per pietatis viscera in se infirmitatem
caeterorum transferat" . Santo Gregorius mengungkapkan ini dalam konteks
Santo Paulus, yang terangkat naik ke dalam misteri Allah, sehingga setelah
turun dia menjadi mampu memberikan diri dalam segala bagi semua orang. Dia juga
menunjuk pada teladan Musa, yang dengan senantisa berulangkali masuk ke Kemah
Suci, senantiasa berada dalam dialog dengan Allah, agar dapat semakin melayani
umatnya. Di dalam (Kemah Suci) dia terangkat naik dalam kontemplasi, sebab
tanpa itu dia sama sekali tidak sanggup melayani mereka yang menderita, intus
in contemplationem rapitur, foris infirmantium negotiis urgetur."
8. Kita telah
membicarakan persoalan dasar, yang dengannya kita menanggapi dua pertanyaan
yang telah muncul sebelumnya. Secara mendasar, "cinta" merupakan
realitas tunggal, namun memiliki dimensi yang berbeda; dalam waktu-waktu yang
berbeda, satu atau dimensi yang lain tampil secara lebih mencolok. Akan tetapi
kalau dua dimensi tersebut sama sekali dipisahkan dari yang lain, hasilnya
adalah suatu gambaran karikaturis yang tidak tepat atau paling tidak pemiskinan
bentuk kasih. Dan kita telah pula melihat, secara menyeluruh, bahwa iman Kitab
Suci tidak membangun suatu gambaran dunia lain atau menentang gejala mendasar
umat manusia tentang cinta, namun sebaliknya menerima keseluruhan diri umat
manusia, dan masuk ke dalamnya dalam pencarian akan cinta untuk memurnikannya
dan membangun dimensi baru di dalamnya. Kebaharuan dari iman Kitab Suci ini
terutama diperlihatkan dalam dua unsur, yang mendapatkan penekanan secara kuat:
gambaran akan Allah dan gambaran akan pribadi manusia.
Kebaharuan dalam iman Kitab Suci
Kebaharuan dalam iman Kitab Suci
9. Pertama, dunia
Kitab Suci menyajikan gambaran baru akan Allah. Dalam budaya-budaya sekitarnya,
gambaran akan Allah dan akan dewa-dewa pada dasarnya tidak jelas dan saling
bertolak belakang satu sama lain. Namun dalam perkembangan iman Kitab Suci apa
yang termuat dalam doa dasar umat Israel, Shema, gambaran itu menjadi semakin
jelas dan pasti, "Dengarkanlah, umat Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan
itu esa!" (lih Ul 6,4). Hanya ada satu Allah, pencipta langit dan bumi,
yang adalah Allah pencipta umat manusia. Ada dua fakta penting dari pernyataan
ini: semua illah-illah yang lain bukanlah Allah, dan alam semesta tempat di
mana kita hidup menemukan sumbernya di dalam Allah dan dicipta oleh-Nya. Tentu,
gagasan mengenai penciptaan dapat ditemukan ditempat lain, namun hanya di sini
gagasan tersebut menjadi sangat jelas, bahwa bukannya ada satu illah di antara
illah-illah yang lain, tetapi hanya ada satu Allah yang benar, yang adalah
sumber dari segala yang ada; keseluruhan dunia hanya ada dan hidup berkat kuasa
sabda penciptaan Allah. Konsekuensinya, ciptaan-Nya berarti bagi-Nya, sebab
dikehendaki dan diciptakan-Nya. Unsur penting kedua kemudian muncul: Allah ini
mencintai manusia. Kuasa Ilahi yang dicari oleh Aristoteles dalam puncak
filsafat Yunani untuk dipahaminya lewat refleksi, dalam kenyataannya merupakan
objek keinginan dan cinta bagi semua ciptaan - dan sebagai objek cinta realitas
Ilahi ini menggerakkan dunia - akan tetapi dirinya sendiri tak kehilangan
apapun dan tidak mencintai: sebab hanya merupakan objek dari cinta. Allah yang
esa, yang diimani umat Israel, sebaliknya, mencintai dengan cinta personal.
Cintanya, lebih daripada itu, adalah cinta yang memilih: dari segala bangsa Dia
memilih Israel dan mencintainya - namun dengannya Dia berkehendak menyelamatkan
seluruh umat manusia. Allah mencintai, dan cinta-Nya dapat disebut sebagai
eros, namun adalah pula sepenuhnya agape .
Para Nabi, khususnya Hosea dan Yehezkiel,
menggambarkan cinta Allah untuk memiliki umat-Nya dalam gambaran erotis. Relasi
Allah dengan Israel digambarkan dengan menggunakan gambaran mempelai dan
perkawinan; pemujaan berhala adalah ketidaksetiaan dan pelacuran. Di sini kita
menemukan acuan khusus - sebagaimana telah kita lihat - kultus kesuburan dan
penyelewengan eros, tetapi juga sebuah penggambaran relasi kesetiaan antara
Israel dan Allah mereka. Sejarah relasi kasih antara Allah dan Israel
ternyatakan, pada tataran terdalamnya, bahwa Dia memberi mereka Taurat, yang
dengannya mata umat Israel terbuka untuk mengenali kodrat asali umat manusia
dan menunjukkan kepadanya jalan menuju pada kemanusiaan sejati. Hal itu tampak
dalam kenyataan bahwa manusia, dalam kesetiaan hidupnya akan Allah yang esa,
sampai pada pengalaman bahwa dirinya dikasihi Allah, dan menemukan kegembiraan
dalam kebenaran dan keadilan - kegembiraan dalam Allah yang menjadi kebahagiaan
sejati baginya, "Siapa gerangan ada padaku di Surga selain Engkau? Selain
Engkau tidak ada yang kuinginkan di bumi. ... Tetapi aku, aku suka dekat pada
Allah" (Mzm 73, 25.28).
10. Kita telah melihat bahwa eros Allah sepenuhnya adalah agape. Dikatakan demikian bukan hanya karena itu dicurahkan sepenuhnya secara cuma-cuma, tanpa syarat apapun sebelumnya, tetapi juga karena itu adalah pula kasih yang mengampuni. Hosea terutama memberikan gambaran bahwa dimensi agape dari kasih Allah kepada umat manusia ini jauh melampaui aspek balas-jasa. Israel tidak setia dan menghancurkan perjanjian; Allah seharusnya mengadili dan menolak mereka. Di sini secara tepat digambarkan bahwa Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah dan bukan manusia, "Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel! .. Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia!" (Hos 11, 8-9). Kasih Allah yang mau merangkul umat-Nya, - umat manusia - pada saat yang sama adalah kasih yang mengampuni. Kasih ini begitu agung, karena kasih itu menanggalkan-Nya sendiri, kasih yang menentang keadilan-Nya. Di sini umat Kristiani dapat melihatnya dalam rahasia yang tersembunyi dalam misteri Salib: sedemikian besar kasih Allah kepada manusia, sehingga dengan menjadi manusia Dia membawa diri-Nya sampai pada kematian, dan dengannya Dia memperdamaian keadilan dan kasih.
10. Kita telah melihat bahwa eros Allah sepenuhnya adalah agape. Dikatakan demikian bukan hanya karena itu dicurahkan sepenuhnya secara cuma-cuma, tanpa syarat apapun sebelumnya, tetapi juga karena itu adalah pula kasih yang mengampuni. Hosea terutama memberikan gambaran bahwa dimensi agape dari kasih Allah kepada umat manusia ini jauh melampaui aspek balas-jasa. Israel tidak setia dan menghancurkan perjanjian; Allah seharusnya mengadili dan menolak mereka. Di sini secara tepat digambarkan bahwa Allah menyatakan diri-Nya sebagai Allah dan bukan manusia, "Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel! .. Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia!" (Hos 11, 8-9). Kasih Allah yang mau merangkul umat-Nya, - umat manusia - pada saat yang sama adalah kasih yang mengampuni. Kasih ini begitu agung, karena kasih itu menanggalkan-Nya sendiri, kasih yang menentang keadilan-Nya. Di sini umat Kristiani dapat melihatnya dalam rahasia yang tersembunyi dalam misteri Salib: sedemikian besar kasih Allah kepada manusia, sehingga dengan menjadi manusia Dia membawa diri-Nya sampai pada kematian, dan dengannya Dia memperdamaian keadilan dan kasih.
Dimensi filsafat terdapat dalam visi Alkitabiah
ini, dan maknanya dari sudut pandang sejarah agama-agama terletak dalam fakta
bahwa di satu sisi kita dapat menemukan diri di hadapan gambaran metafisik akan
Allah: Allah adalah sumber mutlak dan akhir semua ciptaan; tetapi prinsip
universal penciptaan - Logos, nalar asali - pada saat yang sama Pecinta yang
rela menderita demi kasih sejatinya. Eros kemudian dimuliakan pada tingkat
tertinggi, dan karenanya dimurnikan dengan disatukan dengan agape. Kita dapat
dengannya memahami bahwa penerimaan Kitab Kidung Agung dalam kanon Kitab Suci
dapat dijelaskan dengan penjelasan bahwa kidung kasih tersebut pada dasarnya
menggambarkan relasi Allah dengan manusia dan relasi manusia dengan Allah. Maka
Kidung Agung menjadi, baik dalam literatur Kristiani maupun Yahudi, sumber
pengetahuan dan pengalaman mistik, ungkapan dari inti iman Kitab Suci: bahwa
manusia dapat sungguh masuk dalam kesatuan dengan Allah - dambaan asali
manusia. Akan tetapi kesatuan ini tidak berarti lebur, tenggelam dalam lautan
Ilahi yang tak bernama, melainkan sebuah kesatuan, yang membuahkan kasih,
kesatuan baik Allah maupun manusia tetap menjadi dirinya sendiri dan karenanya
menjadi satu sepenuhnya, "Siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan,
menjadi satu roh dengan Dia" ( 1 Kor 6,17).
11. Kebaharuan pertama dari iman Kitab Suci, sebagaimana telah kita lihat, terletak pada gambarannya mengenai Allah. Yang kedua, pada dasarnya terkait dengannya, dapat ditemukan dalam gambaran mengenai manusia. Kisah penciptaan dalam Kitab Suci bertutur tentang kesendirian Adam, manusia pertama, dan Allah setelahnya memberinya seorang penolong baginya. Di antara semua ciptaan yang lain, tidak ada yang dapat menjadi penolong baginya, betapapun dia yang memberi nama semua binatang hutan dan segala burung, sehingga dengannya menjadikan semua sebagai bagian dari hidupnya. Maka Allah menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk lelaki. Kini Adam memiliki penolong yang dibutuhkannya, "Inilah dia tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku" (Kej 2,23). Di sini kita dapat menemukan gagasan yang dapat pula ditemukan, seperti misalnya, dalam mitos yang dikisahkan oleh Plato, yang menggambarkan bahwa manusia pada dasarnya berciri bulat utuh, sebab dia sepenuhnya sempurna dalam dirinya dan berdiri sendiri. Akan tetapi sebagai hukuman atas kesombongannya, dia dipisah menjadi dua oleh Zeus, sehingga dia menginginkan separuh bagian dirinya, terdorong sepenuhnya untuk memilikinya, sehingga menemukan kembali keutuhannya . Sementara kisah Alkitabiah tidak berbicara mengenai penghukuman, sebab penggambaran yang dihadirkannya adalah bahwa manusia sepenuhnya tidak lengkap, sehingga terdorong oleh kodratnya untuk mencari yang lain yang dapat menjadikannya utuh, sebuah penggambaran bahwa hanya dalam kesatuan dengan yang berjenis lain dia dapat menjadi penuh. Kisah dalam Kitab Suci karenanya kemudian menyimpulkan dengan sebuah nubuat tentang Adam, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej 2,24).
11. Kebaharuan pertama dari iman Kitab Suci, sebagaimana telah kita lihat, terletak pada gambarannya mengenai Allah. Yang kedua, pada dasarnya terkait dengannya, dapat ditemukan dalam gambaran mengenai manusia. Kisah penciptaan dalam Kitab Suci bertutur tentang kesendirian Adam, manusia pertama, dan Allah setelahnya memberinya seorang penolong baginya. Di antara semua ciptaan yang lain, tidak ada yang dapat menjadi penolong baginya, betapapun dia yang memberi nama semua binatang hutan dan segala burung, sehingga dengannya menjadikan semua sebagai bagian dari hidupnya. Maka Allah menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk lelaki. Kini Adam memiliki penolong yang dibutuhkannya, "Inilah dia tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku" (Kej 2,23). Di sini kita dapat menemukan gagasan yang dapat pula ditemukan, seperti misalnya, dalam mitos yang dikisahkan oleh Plato, yang menggambarkan bahwa manusia pada dasarnya berciri bulat utuh, sebab dia sepenuhnya sempurna dalam dirinya dan berdiri sendiri. Akan tetapi sebagai hukuman atas kesombongannya, dia dipisah menjadi dua oleh Zeus, sehingga dia menginginkan separuh bagian dirinya, terdorong sepenuhnya untuk memilikinya, sehingga menemukan kembali keutuhannya . Sementara kisah Alkitabiah tidak berbicara mengenai penghukuman, sebab penggambaran yang dihadirkannya adalah bahwa manusia sepenuhnya tidak lengkap, sehingga terdorong oleh kodratnya untuk mencari yang lain yang dapat menjadikannya utuh, sebuah penggambaran bahwa hanya dalam kesatuan dengan yang berjenis lain dia dapat menjadi penuh. Kisah dalam Kitab Suci karenanya kemudian menyimpulkan dengan sebuah nubuat tentang Adam, "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej 2,24).
Ada dua aspek
penting di sini. Pertama, eros adalah sesuatu yang berakar pada kodrat manusia;
Adam adalah seorang pencari, yang 'meninggalkan ayahnya dan ibunya' untuk
mencari seorang perempuan, sebab dalam kebersamaan keduanya dapat membangun
keutuhan kemanusiaan dan menjadi 'satu tubuh'. Aspek kedua sama pentingnya.
Dari sudut pandang penciptaan, eros mengarahkan manusia pada perkawinan, pada
suatu ikatan yang adalah unik dan pasti, sehingga, dan hanya dengannya, dia
dapat memenuhi maksud terdalam hidupnya. Dan terkait dengan gambaran akan Allah
monoteistik maka perkawinan pun monogami. Perkawinan yang berdasar pada cinta yang
eksklusif dan tetap menjadi tanda relasi antara Allah dengan umat-Nya dan
sebaliknya. Jalan kasih Allah menjadi ukuran cinta manusia. Kaitan erat antara
eros dan perkawinan dalam Kitab Suci ini praktis tidak dapat ditemukan
padanannya dalam literatur non biblis.
Yesus Kristus - kasih Allah yang menjelma
Yesus Kristus - kasih Allah yang menjelma
12. Hingga kini
kita telah mengupas terutama dari Perjanjian Lama, walaupun demikian toh
kesatuan yang utuh saling melengkapi antara dua Perjanjian sebagai satu Kitab
Suci dari iman Kristiani hadir di dalamnya. Kebaharuan sejati dalam Perjanjian
Baru bukan dalam kebaharuan gagasan, namun dalam gambaran akan Kristus, yang
memberikan tubuh dan darah-Nya bagi gagasan tersebut - suatu realisme yang
sangat mengagumkan. Sebenarnya telah tercermin dalam Perjanjian Lama bahwa
kebaharuan yang dinyatakan dalam Kitab Suci tidak terletak terutama dalam
gagasan abstrak, namun dalam tindakan Allah yang tidak terduga dan mengagumkan.
Tindakan Allah ini kini terwujud secara dramatis ketika, dalam Yesus Kristus,
Allah sendiri, dalam mencari 'domba-domba yang hilang', masuk dalam penderitaan
dan kehilangan kemanusiaan. Ketika Yesus menceriterakan perumpamaan tentang
gembala yang mencari domba yang hilang, perempuan yang mencari dirham yang
hilang, atau tentang seorang bapa yang berlari mendapatkan dan merangkul
anaknya yang hilang, maka tidak hanya sekedar kata-kata: penjelasan mengenai
realitas diri dan tindakan Allah. Kematiannya di kayu salib adalah puncak
tindakan Allah yang menanggalkan diri-Nya, dengan mengorbankan dirinya sendiri
untuk mengangkat kembali manusia dan menyelamatkannya. Di sini kasih menemukan
bentuknya yang paling radikal. Dengan memandang Kristus yang tertikam,
sebagaimana dikatakan Yohanes (lih Yoh 19,37), kita dapat memahami titik tolak
ensiklik ini, "Allah adalah kasih" (1 Yoh 4,8). Di sanalah kebenaran
ini dapat dikontemplasikan. Dari sini pulalah pengertian kita akan cinta
berawal. Dengan memandangnya umat Kristiani menemukan tapak jalan hidup dan
kasih yang harus ditelusurinya.
13. Yesus memberikan tindakan kurban diri-Nya agar senantiasa hadir dengan menetapkan Ekaristi pada perjamuan malam terakhir. Dia mempersiapkan kematian dan kebangkitan-Nya dengan memberikan pada murid-murid-Nya, dalam wujud roti dan anggur, diri-Nya sendiri, tubuh dan darah-Nya sebagai manna yang baru (lih Yoh 6,31-33). Dunia lama secara sederhana membayangkan makanan sejati manusia - apa yang dibutuhkannya sebagai manusia - pada dasarnya adalah Logos, kebijaksaaan abadi, dan kini Logos yang sama itu sungguh menjadi santapan bagi kita - sebagai kasih. Ekaristi membawa kita ke dalam tindakan penyerahan diri Yesus. Lebih daripada secara statistik menerima Logos yang menjelma, kita masuk dengannya ke dalam dinamika terdalam pemberian diri. Gambaran perkawinan antara Allah dengan Israel kini diwujudkan dalam cara yang sepenuhnya tidak bisa tergambarkan sebelumnya: dulu dengan berdiri di hadapan kehadiran Allah, kini menjadi bersatu dengan Allah dengan ikut serta dalam pengorbanan diri Yesus, ikut serta dalam tubuh dan darah-Nya. Mistik sakramental, berdasar pada penyatuan diri Allah ke dalam hidup kita, bekerja lebih lanjut dan mengangkat kita jauh lebih tinggi daripada apa yang dapat digapai dalam segala pengangkatan mistis.
13. Yesus memberikan tindakan kurban diri-Nya agar senantiasa hadir dengan menetapkan Ekaristi pada perjamuan malam terakhir. Dia mempersiapkan kematian dan kebangkitan-Nya dengan memberikan pada murid-murid-Nya, dalam wujud roti dan anggur, diri-Nya sendiri, tubuh dan darah-Nya sebagai manna yang baru (lih Yoh 6,31-33). Dunia lama secara sederhana membayangkan makanan sejati manusia - apa yang dibutuhkannya sebagai manusia - pada dasarnya adalah Logos, kebijaksaaan abadi, dan kini Logos yang sama itu sungguh menjadi santapan bagi kita - sebagai kasih. Ekaristi membawa kita ke dalam tindakan penyerahan diri Yesus. Lebih daripada secara statistik menerima Logos yang menjelma, kita masuk dengannya ke dalam dinamika terdalam pemberian diri. Gambaran perkawinan antara Allah dengan Israel kini diwujudkan dalam cara yang sepenuhnya tidak bisa tergambarkan sebelumnya: dulu dengan berdiri di hadapan kehadiran Allah, kini menjadi bersatu dengan Allah dengan ikut serta dalam pengorbanan diri Yesus, ikut serta dalam tubuh dan darah-Nya. Mistik sakramental, berdasar pada penyatuan diri Allah ke dalam hidup kita, bekerja lebih lanjut dan mengangkat kita jauh lebih tinggi daripada apa yang dapat digapai dalam segala pengangkatan mistis.
14. Di sini kita
perlu menyadari aspek lain: mistik sakramental dalam ciri sosialnya, dalam
persekutuan sakramental di mana saya, bersama penerima komuni lainnya, menjadi
satu dengan Tuhan. Sebagaimana Santo Paulus mengatakan, "Karena roti
adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua
mendapat bagian dalam roti yang satu itu" (1 Kor 10,17). Kesatuan dengan
Kristus adalah pula kesatuan dengan semua, yang kepadanya Dia memberikan
diri-Nya sendiri. Saya tidak dapat memiliki Kristus karena diri saya sendiri;
saya hanya dapat menjadi bagian dari diri-Nya hanya dalam kesatuan dengan
semua, yang telah, dan yang akan, menjadi milik-Nya. Komuni membawa saya keluar
dari diri saya sendiri menuju pada-Nya, dan dengannya pun menuju pada kesatuan
dengan semua umat Kristiani. Kita menjadi 'satu tubuh', lebur sepenuhnya
bersama yang lain dalam satu keberadaan. Kasih akan Allah dan kasih akan sesama
kini sepenuhnya satu: Allah yang menjelma membawa semua kedalam diri-Nya
sendiri. Dengannya kita dapat mengerti mengapa agape juga menjadi istilah bagi
ekaristi: di sana agape Allah secara badani datang kepada kita, untuk
melanjutkan karya-Nya di dalam dan melalui kita. Hanya dengan memahami
pendasaran kristologis dan sakramental ini kita dapat memahami secara tepat
ajaran Yesus tentang kasih. Perubahan yang Dia buat dari ajaran Taurat dan para
Nabi pada perintah kasih yang berdimensi ganda, kasih akan Allah dan sesama,
serta pendasaran-Nya akan kepenuhan hidup iman dalam ajaran sentral ini, bukanlah
sekedar perkara moralitas - sesuatu yang dapat hidup terpisah atau diluar iman
akan Kristus dan pewujudnyataan sakramentalnya. Iman, ibadah dan ethos mewujud
dalam satu realitas, yang terbentuk dalam perjumpaan kita dengan agape Allah.
Di sini pemisahan secara bertolak-belakang antara ibadah dan etika sepenuhnya
tidak berlaku. Ibadah, pada dirinya sendiri, kebersamaan ekaristis, merupakan
realitas baik dicintai maupun mencintai sesama. Ekaristi yang tidak menuntun
pada tindakan kasih yang konkret pada dirinya sendiri tidak lengkap.
Sebaliknya, sebagaimana nanti akan kita simak secara lebih mendetil, perintah
kasih hanya mungkin sebab dia lebih daripada sekedar suatu kebutuhan. Kasih
dapat 'dituntut' sebab dia pertama-tama diberi.
15. Prinsip ini
merupakan titik tolak bagi pemahaman akan perumpamaan terkenal dari Yesus.
Seorang kaya (lih Luk 16,19-31) memohon dari tempat penghukumannya agar
saudara-saudaranya diperingatkan akan apa yang bakal terjadi pada mereka yang
tidak peduli pada kebutuhan orang miskin. Yesus memakai permohonan ini sebagai
peringatan agar kita mengambil jalan yang benar. Perumpamaan tentang orang
Samaria yang murah hati (lih. Luk 10,25-37) secara khusus memberikan dua
penjelasan penting. Sampai pada waktu itu, gagasan mengenai 'sesama' dipahami
dalam acuan pada orang sebangsa dan pada orang asing yang tinggal di Israel,
atau, dengan kata lain, komunitas terdekat sebagai bangsa atau negara tertentu.
Batasan ini kini dibongkar. Setiap orang yang membutuhkan saya, dan kepada
siapa saya dapat memberikan bantuan, adalah sesama saya. Gagasan mengenai
sesama kini menjadi universal, betapapun tetap bersifat konkret. Di samping
diperluas pada semua umat manusia, gagasan tentang sesama tidak dipersempit
pada ungkapan kasih yang umum, abstrak dan tak mewujud, akan tetapi memanggil
pada pewujudan komitmen praktis kini dan di sini. Gereja berkewajiban untuk
senantiasa menafsirkan kaitan antara gambaran sesama yang jauh dan dekat ini di
tengah kehidupan sehari-hari anggotanya. Akhirnya, kita harus secara khusus
memperhatikan, perumpamaan tentang pengadilan terakhir (lih Mat 25,31-46), di
mana kasih menjadi kriteria bagi keputusan akhir akan berharga dan tidak
berharganya hidup manusia. Yesus mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan
mereka yang membutuhkan, dengan mereka yang lapar, haus, orang asing,
telanjang, mereka yang sakit dan berada dalam penjara. "Segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25,40). Kasih akan Allah dan kasih
akan sesama menjadi satu: dalam diri mereka yang hina kita menemukan Yesus
sendiri, dan dalam Yesus kita menemukan Allah
Kasih
akan Allah dan kasih akan sesama
16. Setelah
merefleksikan hakekat kasih dan artinya dalam iman Kitab Suci, dua pertanyaan
muncul sehubungan dengan sikap kita: dapatkah kita mencintai Allah tanpa
melihat-Nya? Dapatkah cinta itu diperintah? Bertentangan dengan perintah kasih
yang berdimensi ganda pertanyaan-pertanyaan tersebut menumbuhkan keberatan
ganda. Tak seorang pun pernah melihat Allah, maka bagaimana kita mencintai-Nya?
Lebih lanjut, cinta tidak dapat diperintah, sebab dia sepenuhnya suatu perasaan
yang dapat ada atau tidak ada, maka tidak dapat dihasilkan oleh kehendak. Kitab
Suci sepertinya menanggapi keberatan pertama dengan mengatakan, "Jika
seseorang berkata: 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka dia
adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya,
tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya" (1 Yoh 4,20). Teks
ini secara jelas menyangkal anggapan bahwa kasih Allah adalah sesuatu yang
mustahil. Sebaliknya, keseluruhan konteks ayat yang dikutip dari surat pertama
Yohanes memperlihatkan bahwa kasih pada dasarnya dituntut. Kesatuan yang tak
terpisahkan antara kasih akan Allah dan kasih akan sesama ditekankan. Yang satu
secara erat terkait dengan yang lain, sehingga dikatakan bahwa cinta kita pada
Allah merupakan suatu kebohongan jika kita menutup diri pada sesama atau
sepenuhnya membencinya. Kata-kata dari Santo Yohanes perlu lebih ditafsirkan
untuk mengerti bahwa kasih akan sesama adalah jalan yang menuntun pada
perjumpaan dengan Allah, dan bahwa dengan menutup mata akan sesama menjadikan
kita buta akan Allah.
17. Benar, tak
seorang pun dapat melihat Allah sebagaimana Dia adanya. Namun Allah tidak
sepenuhnya tidak terlihat bagi kita; Dia tidak sama sekali tak terdekati. Allah
telah terlebih dahulu mencintai kita, tulis surat Yohanes (lih 1 Yoh 4,10), dan
kasih Allah ini hadir di tengah kita. Dia menjadi terlihat sebagaimana Dia
"telah mengutus Putera-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup
oleh-Nya" (1 Yoh 4,9). Allah menjadikan diri-Nya sendiri terlihat: dalam
Yesus kita dapat melihat Bapa (lih Yoh 14,9). Dengan demikian, Allah terlihat
hadir dalam berbagai cara. Dalam kisah kasih yang diceriterakan oleh Injil, Dia
datang kepada kita, Dia berupaya meraih hati kita, sampai akhirnya sampai pada
Perjamuan Malam terakhir, sampai hati-Nya tertikam di kayu Salib, sampai pada
penampakan-Nya setelah kebangkitan dan pada perbuatan-perbuatan besar melalui
tindakan para rasul, Dia menuntun Gereja yang baru tumbuh dalam jalan-Nya. Tak
pernah sekali pun Tuhan tidak hadir dalam perjalanan sejarah Gereja: Dia
senantiasa menjumpai kita, dalam pria dan wanita yang hidupnya memancarkan
kehadiran-Nya, dalam sabda-Nya, dalam sakramen-sakramen-Nya, dalam terlebih
dalam Ekaristi. Di dalam liturgi Gereja, dalam doanya, dalam hidup komunitas
umat beriman, kita mengalami kasih Allah, merasakan kehadiran-Nya dan karenanya
kita belajar mengenali kehadiran-Nya di tengah kehidupan kita sehari-hari. Dia
terlebih dahulu mencintai kita dan senantiasa mencintai kita, kita pun,
kemudian, dapat menanggapinya dengan kasih. Allah tidak menuntut kita suatu
kasih yang kita sendiri tidak dapat menghasilkannya. Dia mencintai kita, Dia
membuat kita melihat dan mengalami kasih-Nya, dan karena Dia telah terlebih
dahulu mengasihi kita, maka kasih dapat berbuah sebagai suatu tanggapan kasih
dalam diri kita.
Dengan menapaki proses perjumpaan ini, menjadi
semakin jelas bahwa cinta bukan hanya soal perasaan. Perasaan datang dan pergi.
Perasaan dapat menjadi pijar yang mengagumkan, akan tetapi dia bukanlah wujud
kepenuhan kasih. Sebelumnya kita telah berbicara mengenai pemurnian dan
pendewasaan, di mana eros mencapai kepenuhan dirinya, menjadi cinta dalam arti
kepenuhan katanya. Ini adalah tanda cinta yang dewasa, yang mengundang
pewujudan potensi dirinya, melibatkan keseluruhan diri manusia, demikian
dikatakan. Perjumpaan dengan pewujudannyataan secara kelihatan kasih Allah
dapat menumbuhkan dalam diri kita perasaan kegembiraan yang lahir dari
pengalaman dicintai. Namun perjumpaan ini juga melibatkan kehendak dan budi
kita. Pengakuan akan Allah yang hidup adalah sebuah langkah menuju pada kasih, dan
jawaban 'ya' kehendak kita akan kehendak-Nya menyatukan budi, kehendak, dan
perasaan untuk menerima secara penuh tindakan kasih. Akan tetapi proses ini
senantiasa berakhir terbuka; kasih tidak pernah 'berakhir' dan penuh; dalam
perjalanan hidup, dia berubah dan berkembang, dan karenanya senantiasa setia
pada dirinya. Idem velle atque idem nolle - menginginkan yang sama dan menolak
yang sama - dikenali di zaman kuno sebagai muatan otentik cinta: seseorang
menjadi semakin mirip dengan yang lain, dan hal ini menuntun pada persekutuan
kehendak dan pikiran. Kisah kasih antara Allah dengan manusia terletak pada
kenyataan bahwa persekutuan kehendak tumbuh dalam kesatuan pikiran dan
perasaan, sehingga kehendak kita dan kehendak Allah berkembang menyatu: kehendak
Allah tidak lagi asing bagi kehendakku, sesuatu yang dari luar dengan begitu
saja tertanam dalam diriku, dan kini menjadi kehendakku sendiri, hal ini
terwujud karena Allah semakin hadir secara mendalam dalam diriku lebih daripada
aku hadir dalam diriku sendiri . Kemudian penyerahan diri kepada Allah semakin
tumbuh dan Allah menjadi kegembiraanku (lih Mzm 73, 23-28).
18. Kasih akan
sesama sebagaimana dinyatakan dalam pewartaan Injil, oleh Yesus, menjadi
mungkin. Menjadi demikian karena, di dalam Allah dan bersama Allah, saya dapat
mencintai seseorang betapapun dia tidak saya sukai atau saya kenali. Hal ini
hanya dapat terwujud berdasar pada relasi intim dengan Allah, suatu relasi yang
berbuah pada kesatuan kehendak, betapapun hal itu melukai perasaanku sendiri.
Kemudian saya belajar untuk orang lain tidak sekedar dari mata dan perasaanku,
namun dari perspektif Yesus Kristus. Sahabat-Nya adalah sahabatku, Dengan
memandang melampaui penampilan luar, saya menerima dalam diri sesama kehendak
batin akan tanda kasih, akan perhatian. Dengan ini saya dapat memberi mereka
tidak hanya melalui intensi organisatoris akan maksud tujuan tertentu, atau
menerimanya mungkin sebagai kebutuhan politis. Dengan memandang dengan mata
Kristus, saya dapat memberikan kepada sesama lebih banyak daripada apa yang
secara kelihatan dibutuhkannya; saya dapat memberi mereka pandangan kasih yang
mereka butuhkan. Di sini kita melihat suatu kebutuhan akan adanya relasi antara
kasih akan Allah dan kasih akan sesama sebagaimana secara jelas dibicarakan
dalam Surat pertama Yohanes. Jika saya tidak memiliki relasi apapun dengan
Allah dalam diri saya, maka kemudian saya mampu memandang dalam diri sesama
tidak lebih dari dirinya, dan saya tidak memandang dalam dirinya gambaran akan
Allah. Demikian juga jika hidup saya, saya sepenuhnya tidak mampu memperhatian
sesama, hanya secara eksklusif ingin menjadi 'saleh' dan hanya mau menjalani
'kewajiban-kewajiban religius' belaka, maka relasi saya dengan Allah akan
kering dan layu. Itu memang baik, tapi tanpa kasih. Hanya dalam kesediaan untuk
menjalin relasi dengan sesama dan menampakkan kasih kepada mereka kita akan
semakin peka akan Allah. Hanya jika saya melayani sesama mata saya dapat
terbuka akan apa yang Allah kerjakan pada diri saya dan mengenali betapa Dia
begitu mencintai saya. Para kudus - dengan menyadari akan teladan Beata Teresa
dari Calcutta - senantiasa memperbaharui ketersediaan dirinya untuk mengasihi
sesama dalam perjumpaan mereka dengan Tuhan ekaristis, dan sebaliknya
perjumpaan ini semakin membawanya dalam kenyataan dan kedalaman pelayanannya
akan sesama. Kasih akan Allah dan kasih akan sesama dengan demikian tidak
terpisahkan, mereka membentuk satu perintah tunggal. Namun keduanya hidup dari
kasih Allah, yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Dia tidak lagi perintah
yang datang dari sesuatu yang hampa dan mustahil, dari luar, melainkan tumbuh
dari pengalaman rahmat kasih dari batin, kasih yang dari hakekatnya harus
dibagikan kepada sesama. Kasih tumbuh melalui kasih. Kasih adalah 'illahi'
karena datang dari Allah dan menjadikan kita satu dengan Allah; dengan proses
penyatuan ini, dia menjadikan kita sebagai 'kita' , yang mentransendensi
keterpisahan kita dan menjadikan kita satu, sampai akhirnya Allah adalah
"semua di dalam semua" (1 Kor 15,28).
BAGIAN
II
CARITAS
TINDAKAN
KASIH GEREJA
SEBAGAI
PERSAUDARAAN KASIH
Tindakan
karitatif Gereja sebagai pewujudan kasih Trinitaris
19. "Jika kamu melihat kasih, kamu memandang Tritunggal", tulis Santo Augustinus . Dalam refleksi sebelumnya kita telah meletakkan perhatian kita akan Dia yang tertikam (lih Yoh 19,37; Zef 12,10), dengan memahami rencana Bapa yang, terdorong oleh kasih (lih Yoh 3,16), mengutus Putra tunggal terkasih-Nya ke dalam dunia untuk menebus umat manusia. Dengan wafat di kayu Salib - sebagaimana Santo Yohanes mengisahkannya kepada kita - Yesus " menyerahkan roh-Nya" (Yoh 19,30), sebagai persiapan akan tercurahkannya rahmat Roh Kudus setelah kebangkitan-Nya (lih Yoh 20,22). Hal ini merupakan pemenuhan janji 'aliran-aliran air hidup' yang akan mengalir dari hati umat beriman, melalui pencurahan Roh Kudus (lih Yoh 7, 38-39). Roh, kenyataannya, adalah kuasa batin yang menyatukan hati mereka dengan hati Kristus dan menuntun mereka untuk mencintai sesamanya sebagaimana Kristus mencintai mereka, ketika Dia membungkuk untuk membasuh kaki para murid-Nya (lih Yoh 13,1-13) dan terlebih lagi ketika dia memberikan hidup-Nya bagi kita (lih Yoh 13,1; 15,13).
Roh adalah pula daya kekuatan, yang mengubah hati
persekutuan Gereja, sehingga menjadi tanda kesaksian di hadapan dunia akan
kasih Bapa, yang menghendaki umat manusia membangun satu keluarga di dalam
Putera-Nya. Keseluruhan tindakan Gereja ini merupakan ungkapan kasih, yang
mencari apa yang secara mendasar merupakan sesuatu yang baik bagi umat manusia:
melalui pewartaannya dalam sabda dan sakramen, yang dalam sejarahnya tidak
jarang dijalankan dalam cara yang heroik; melalui upayanya untuk membantu
perkembangan umat manusia dalam berbagai bidang kehidupan dan aktivitas
kemanusiaan. Kasih dengan demikian adalah pelayanan yang dijalani Gereja untuk
senantiasa menjumpai mereka yang menderita dan membutuhkan, termasuk
kebutuhan-kebutuhan material. Aspek inilah, pelayanan kasih, yang ingin saya
titik beratkan dalam bagian kedua ensiklik ini.
Karitas
sebagai tugas Gereja
20. Kasih akan
sesama, yang berakar pada kasih akan Allah, pertama-tama dan pada dasarnya
adalah tugas setiap pribadi umat beriman, akan tetapi adalah pula merupakan
misi seluruh komunitas gerejani di setiap level: dari persekutuan umat beriman
lokal ke Gereja setempat dan pula sampai pada Gereja universal sebagai
keseluruhannya. Sebagai persekutuan umat, Gereja harus mewujudkan kasih. Kasih
membutuhkan suatu penataan, jika dimaksudkan untuk melayani komunitas.
Kesadaran akan misi ini sejak awal memiliki relevansi konstitutif dalam tubuh
Gereja, "Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala
kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang
menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai
dengan keperluan masing-masing" (Kis 2,44-45). Dengannya, Santo Lukas
memberikan suatu bentuk perumusan akan identitas Gereja , yang unsur-unsur
hakikinya mencakup kesetiaan akan 'ajaran para Rasul', 'persekutuan' (koinonia),
'memecah-mecahkan roti' dan 'doa' (lih Kis 2,42). Unsur 'persekutuan'
(koinonia) pada mulanya belum secara jelas terumuskan, namun tampak secara
konkret dalam ayat yang dikutip di atas: bahwa dalam kenyataannya umat beriman
memiliki semua secara bersama, dan di antara mereka tidak ada pembedaan antara
yang kaya dan yang miskin (juga lihat Kis 4,32-37). Ketika Gereja semakin
berkembang, bentuk radikal kebersamaan material tidak dapat lagi diwujudkan.
Akan tetapi inti dasarnya tetap: di dalam komunitas umat beriman tidak ada
ruang bagi kemiskinan, penolakan akan seseorang yang membutuhkan sesuatu untuk
martabat hidupnya.
21. Langkah
penting untuk mencari cara pewujudan prinsip fundamental hidup menggereja ini
digambarkan dalam pemilihan tujuh orang, yang menandai mulainya pelayanan
diakonal (lih Kis 6, 5-6). Dalam Gereja perdana, kenyataannya, dengan mengacu
pada pembagian bagi janda-janda, pembedaan muncul antara umat yang berbahasa
Yahudi dan Yunani. Para Rasul, yang terutama menjalankan tuhas pelayanan dengan
'doa' (Ekaristi dan liturgi) dan 'pelayanan sabda', merasa terlalu terbebani
dengan 'pelayanan sabda', sehingga mereka lalu memutuskan agar mereka
memusatkan pelayanan mereka pada tugas utama mereka dan mendelegasikan tugas
lain, yang juga penting bagi kehidupan Gereja, pada kelompok tujuh orang. Tidak
seorang pun dari kelompok ini menjalankan tugas tersebut hanya dalam pelayanan
secara teknis belaka, sebab mereka adalah orang-orang yang "penuh Roh dan
hikmat" (Kis 6,1-6). Dengan kata lain, pelayanan sosial yang sepenuhnya
adalah tindakan konkret, pada saat yang sama adalah pula suatu pelayanan
rohani; pelayanan mereka merupakan kuasa rohani yang menjalankan tanggungjawab
dasar Gereja, yang adalah pewujudan kasih akan sesama. Dengan pembentukan
kelompok tujuh orang ini, 'diaconi' - pelayanan kasih yang terwujud secara
komuniter, dan tertata - menjadi bagian fundamental dari struktur Gereja.
22. Ketika waktu terus berjalan dan Gereja semakin tersebar, pewujudan karitas dikenal sebagai aktivitas Gereja yang mendasar, di samping pelayanan sakramen dan pewartaan sabda: kasih akan janda-janda dan yatim piatu, narapidana, dan mereka yang sakit dan membutuhkan apapun juga, merupakan sesuatu yang vital baginya sebagaimana pula pelayanan sakramen dan pewartaan Injil. Gereja tidak dapat melalaikan pelayanan kasih, sebagaimana pula dia tidak dapat melalaikan pelayanan sakramen dan sabda. Beberapa acuan cukuplah untuk menunjukkan hal ini. Yustinus Martir (* sekitar 155) berbicara dalam suatu perayaan hari minggu umat Kristiani, juga menunjukkan tindakan karitatif mereka terkait dengan Ekaristi. Mereka yang mampu memberikan persembahan sesuai dengan kemampuan mereka, seberapapun mereka berikan, dan uskup kemudian menggunakannya untuk membantu para yatim piatu, janda-janda, mereka yang sakit atau mereka yang karena kondisi tertentu membutuhkan, seperti misal narapidana dan orang-orang asing . Penulis besar Kristiani Tertullianus (* setelah 220) menceriterakan betapa orang-orang tak beriman sangat tersentuh dengan perhatian Kristiani pada segala orang yang membutuhkan . Dan ketika Ignasius dari Antiochia (* sekitar 117) menggambarkan Gereja Roma sebagai "memimpin dalam kasih (agape)" , kita dapat menduga bahwa penggambaran ini dalam arti tertentu mengungkapkan tindakan konkret Gereja akan kasih.
22. Ketika waktu terus berjalan dan Gereja semakin tersebar, pewujudan karitas dikenal sebagai aktivitas Gereja yang mendasar, di samping pelayanan sakramen dan pewartaan sabda: kasih akan janda-janda dan yatim piatu, narapidana, dan mereka yang sakit dan membutuhkan apapun juga, merupakan sesuatu yang vital baginya sebagaimana pula pelayanan sakramen dan pewartaan Injil. Gereja tidak dapat melalaikan pelayanan kasih, sebagaimana pula dia tidak dapat melalaikan pelayanan sakramen dan sabda. Beberapa acuan cukuplah untuk menunjukkan hal ini. Yustinus Martir (* sekitar 155) berbicara dalam suatu perayaan hari minggu umat Kristiani, juga menunjukkan tindakan karitatif mereka terkait dengan Ekaristi. Mereka yang mampu memberikan persembahan sesuai dengan kemampuan mereka, seberapapun mereka berikan, dan uskup kemudian menggunakannya untuk membantu para yatim piatu, janda-janda, mereka yang sakit atau mereka yang karena kondisi tertentu membutuhkan, seperti misal narapidana dan orang-orang asing . Penulis besar Kristiani Tertullianus (* setelah 220) menceriterakan betapa orang-orang tak beriman sangat tersentuh dengan perhatian Kristiani pada segala orang yang membutuhkan . Dan ketika Ignasius dari Antiochia (* sekitar 117) menggambarkan Gereja Roma sebagai "memimpin dalam kasih (agape)" , kita dapat menduga bahwa penggambaran ini dalam arti tertentu mengungkapkan tindakan konkret Gereja akan kasih.
23. Di sini
sangatlah membantu untuk mencermati sekilas struktur legal awal yang terkait dengan
pelayanan kasih di dalam tubuh Gereja. Sampai pada pertengahan abad keempat
kita melihat perkembangan di Mesir akan "diaconia": institusi dalam
setiap biara yang bertanggungjawab akan karya-karya bantuan, yang dapat
dikatakan, bagi pelayanan kasih. Sampai pada abad keenam institusi ini
berkembang dalam suatu badan, yang secara yuridis berdiri sendiri, di mana
otoritas sipil kemudian yang dipercaya untuk menjalankan pembagiannya untuk
umum. Di Mesir tidak hanya tiap biara, akan tetapi setiap keuskupan pada
kenyataannya memiliki diaconia-nya masing-masing; institusi ini kemudian
berkambang baik di Timur maupun di Barat. Paus Gregoris Agung (* 604)
memberitakan tentang diaconia di Napoli, sementara di Roma diaconiae dicatat
tumbuh pula di abad 7 dan 8. Akan tetapi pelayanan karitatif pada mereka yang
miskin dan menderita pada dasarnya telah menjadi bagian utama Gereja Roma sejak
awal mulanya, berdasar pada prinsip hidup Kristiani yang diberikan dalam Kisah
para Rasul. Dapat ditemukan ungkapan yang jelas akan hal ini dalam kasus Diakon
Laurensius (* 258). Penuturan dramatis akan kemartiran Laurensius telah dikenal
lewat Santo Ambrosius (* 397) dan dia memberikan gambaran otentik akannya.
Sebagai orang yang bertanggungjawab untuk memperhatikan orang-orang miskin di
Roma, Laurensius, setelah Paus dan diakon lainnya ditahan, disuruh untuk dalam
waktu tertentu mengumpulkan seluruh harta milik Gereja dan menyerahkannya pada
otoritas sipil. Akan tetapi dia membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin
apapun yang ada dan membawa kepada penguasa orang-orang miskin itu sebagai
kekayaan Gereja . Entah seberapa tepatnya data historis dalam kisah tersebut,
Laurensius akan senantiasa menjadi bagian dari kenangan Gereja sebagai tokoh
besar pejuang pelayanan kasih Gereja.
24. Catatan akan kaisar Yulianus Apostatus (* 363) dapat pula dipakai untuk menunjukkan bagaimana secara mendasar Gereja awal telah mewujudkan secara tertata praktek karitatif. Sebagai seorang anak berusia 6 tahun, dia telah menyaksikan pembunuhan ayah, saudara dan anggota keluarga lainnya oleh penjaga istana; entah benar atau tidak, dia melemparkan tuduhan akan tindakan brutal ini pada Raja Konstantinus, orang besar yang telah menjadi Kristen. Iman Kristiani kemudian sepenuhnya baginya terkutuk. Ketika menjadi kaisar, Yulianus memutuskan untuk memulihkan paganisme, agama Romawi kuno, dengan memperbaharuinya dengan harapan menjadi sumber kekuatan penyokong pemerintahannya. Dalam maksud ini dia sepenuhnya terinspirasikan oleh Kristianisme. Dia membentuk hirarki dari metropolitan dan imam-imam, yang didorong untuk menumbuhkan kasih akan Allah dan sesama. Dalam salah satu suratnya , dia menuliskan bahwa satu-satunya unsur dari agama Kristiani yang mengesan baginya adalah karya karitatif Gereja. Maka dia kemudian memikirkan bahwa hal itu adalah penting pula bagi agama baru yang dibangunnya lagi, sehingga di samping sistem karitatif gerejani, karya yang serupa olehnya dibentuk pula. Menurutnya, karya kasih inilah yang menjadikan alasan mengapa agama orang Galilea menjadi dikenal luas. Mereka perlu ditiru untuk dikalahkan. Dengan demikian, jelas kaisar mengakui bahwa karitas adalah ciri yang menentukan dalam komunitas Kristiani.
24. Catatan akan kaisar Yulianus Apostatus (* 363) dapat pula dipakai untuk menunjukkan bagaimana secara mendasar Gereja awal telah mewujudkan secara tertata praktek karitatif. Sebagai seorang anak berusia 6 tahun, dia telah menyaksikan pembunuhan ayah, saudara dan anggota keluarga lainnya oleh penjaga istana; entah benar atau tidak, dia melemparkan tuduhan akan tindakan brutal ini pada Raja Konstantinus, orang besar yang telah menjadi Kristen. Iman Kristiani kemudian sepenuhnya baginya terkutuk. Ketika menjadi kaisar, Yulianus memutuskan untuk memulihkan paganisme, agama Romawi kuno, dengan memperbaharuinya dengan harapan menjadi sumber kekuatan penyokong pemerintahannya. Dalam maksud ini dia sepenuhnya terinspirasikan oleh Kristianisme. Dia membentuk hirarki dari metropolitan dan imam-imam, yang didorong untuk menumbuhkan kasih akan Allah dan sesama. Dalam salah satu suratnya , dia menuliskan bahwa satu-satunya unsur dari agama Kristiani yang mengesan baginya adalah karya karitatif Gereja. Maka dia kemudian memikirkan bahwa hal itu adalah penting pula bagi agama baru yang dibangunnya lagi, sehingga di samping sistem karitatif gerejani, karya yang serupa olehnya dibentuk pula. Menurutnya, karya kasih inilah yang menjadikan alasan mengapa agama orang Galilea menjadi dikenal luas. Mereka perlu ditiru untuk dikalahkan. Dengan demikian, jelas kaisar mengakui bahwa karitas adalah ciri yang menentukan dalam komunitas Kristiani.
25. Sejauh ini dua
fakta penting muncul dalam refleksi kita:
a) Hakekat
terdalam Gereja terwujud alam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah
(kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan pewujudan
pelayanan kasih (diakonia). Masing-masing tugas perutusan ini mengandaikan satu
sama lain dan tidak saling terpisahkan. Maka bagi Gereja, karitas bukanlah
bentuk pelayanan sosial, yang dapat dengan begitu saja dilalaikan demi yang
lain, namun merupakan bagain dari hakekat dirinya, ungkapan yang tak
terpisahkan dari keberadaannya .
b) Gereja adalah
keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun dapat dibiarkan
tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini pada saat yang sama caritas-
agape berkembang melampauai batas Gereja. Perumpamaan mengenai orang Samaria
yang murah hati tetap merupakan patokan yang mendorong diwujudkannya kasih
universal pada mereka yang membutuhkan, mereka yang kita temukan secara
kebetulan (lih Luk 10,31), siapapun dia. Tanpa dengan cara apapun menarik diri
dari perintah cinta universal ini, Gereja menyatakan tugasnya secara khusus:
jangan sampai di dalam keluarga Gereja ada orang yang mengalami penderitaan
apapun juga. Ajaran dari surat Galatia secara jelas menegaskannya, "Karena
itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada
semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman" (Gal 6,10).
Keadilan dan
kasih
26. Sejak abad 19,
gugatan ditujukan pada kegiatan karitatif Gereja, sebagai konsekuensi dari
berkembangnya klaim khas dari Marxisme: orang miskin, yang dinyatakan tidak
membutuhkan kasih, melainkan keadilan. Karya karitatif - derma - tampak menjadi
cara bagi orang-orang kaya untuk pada menghindar dari kewajiban mereka untuk
berkarya bagi keadilan, dan menjadi sarana untuk menenangkan suara hati mereka,
sambil tetap mempertahankan status mereka dan mengambil hak-hak orang-orang
miskin. Lebih daripada terlibat melalui karya-karya kasih individual yang
mempertahankan status quo kita perlu lebih membangun tata sosial yang adil, di
mana semua semua menerima bagian dari harta dunia dan tidak lagi bergantung pada
belas kasih. Memang dapat ditemukan beberapa hal yang benar dari argumen ini,
akan tetapi banyak pula kekeliruannya. Benar bahwa upaya untuk menegakkan
keadilan harus menjadi norma dasar negara dan bahwa tujuan dari tata sosial
yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai prinsip subsidiaritas,
agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Hal ini senantiasa ditekankan
oleh ajaran Gereja mengenai pemerintahan dan ajaran sosial Gereja. Secara
historis, persoalan tata keadilan masyarakat mendapatkan dimensi baru di tengah
industrialisasi masyarakat di abad 19. Tumbuhnya industri modern menyebabkan
struktur sosial lama runtuh, sementara tumbuhnya kelas pekerja yang bergaji
mendorong suatu perubahan radikal dalam struktur masyarakat. Kaitan antara
kapital dan pekerja kini menjadi issu penting - persoalan yang semula tidak
dikenal. Kapital dan sarana-sarana produksi kini menjadi sumber baru kekuasaan,
yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang, akhirnya mengarag pada penindasan
hak kelas pekerja, sesuatu yang hendak mereka lawan.
27. Harus diakui
bahwa pimpinan Gereja lambat menyadari bahwa persoalan keadilan membutuhkan
suatu pendekatan baru. Akan tetapi ada beberapa pionir yang muncul, seperti
misal Uskup Ketteler dari Mainz, Jerman (* 1877), dan secara muncul kebutuhan
dengan tumbuhnya berbagai kelompok, asosiasi, liga, federasi, dan secara
khusus, dengan bermunculannya tarekat-tarekat religius baru yang didirikan di
abad 19 untuk melawan kemiskinan, penyakit dan kebutuhan akan pendidikan yang
lebih baik. Di tahun 1891, magisterium kepausan ikut terlibat dengan ensiklik
Rerum Novarum dari Paus Leo XIII. Hal ini kemudian diikuti di tahun 1931 dengan
ensiklik Pius XI, Quadragesimo Anno. Di tahun 1961, Beato Yohanes XXIII
mengeluarkan ensiklik Mater et Magistra, sementara Paulus VI, dalam ensiklik
Populorum Progressio (1967) dan dalam surat apostolis Octogesima Adveniens
(1971), secara jelas menanggapi problem sosial, yang pada saat itu telah
menjadi persoalan akut terutama di Amerika Latin.
Pendahulu saya yang besar, Yohanes Paulus II
meninggalkan kepada kita trilogi ensiklik sosial: Laborem Exercens (1981),
Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan akhirnya Centesimus Annus (1991).
Menghadapi situasi dan persoalan-persoalan baru, ajaran sosial Gereja secara
terus-menerus berkembang, dan kini menemukan suatu sajian komprehensifnya dalam
Kompendium Ajaran Sosial Gereja yang diterbtkan di tahun 2004 oleh Dewan
Kepausan Iustitia et Pax. Marxisme memandang revolusi dunia dan apa yang
mengawalinya solusi akan persoalan sosial: revolusi dan yang diikuti dengan
kolektivisasi sarana-sarana produksi, sebagaimana dinyatakannya, dapat dengan
segera mengubah semua menjadi lebih baik. Ilusi semacam ini telah tidak laku.
Dalam situasi kompleks dewasa ini, paling tidak karena berkembangnya
globalisasi ekonomi, ajaran sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun
langkah yang secara mendasar memberikan pendekatan yang valid yang melampaui
batas Gereja: dalam menghadapi perkembangan yang terus berjalan orientasi yang
disajikannya perlu digumuli dalam konteks dialog dengan semua orang yang
sungguh peduli akan umat manusia dan dunia tempat kita hidup.
28. Untuk dapat
merumuskan secara lebih tepat kaitan antara kebutuhan komitmen akan keadilan
dan pelayanan kasih, dua situasi mendasar perlu diperhatikan:
a) Tata keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas tanggungjawab utama politik. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Augustinus, sebuah negara yang tidak dipimpin sesuai dengan keadilan hanya akan menjadi kumpulan para pencuri, "Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia?" . Yang menjadi sesuatu yang fundamental bagi umat Kristiani adalah pembedaan antara apa yang milik kaisar dan apa yang milik Tuhan (lih Mat 22,21), dengan kata lain, pembedaan antara Gereja dan negara, atau, sebagaimana dinyatakan dalam Konsili Vatikan II, otonomi ruang dunia . Negara tidak dapat mengatur agama, namun harus menjamin adanya kebebasan beragama dan harmoni antar para pemeluk agama-agama yang berbeda. Dari sisinya, Gereja, sebagai wujud sosial iman Kristiani, memiliki indepedensi sepenuhnya dan hal itu distrukturkan berdasarkan dasar imannya sebagai komunitas yang harus diakui oleh negara. Keduanya berada dalam dua wilayah yang berbeda, namun toh saling berkaitan satu sama lain.
Keadilan merupakan baik tujuan maupun kriteria
dasariah semua politik. Politik tidak hanya sekedar suatu mekanisme untuk
menetapkan aturan ruang kehidupan, sebab asal dan tujuannya ditemukan dalam
keadilan, yang dari hakekatnya terkait dengan etika. Negara musti secara tak
terelakkan menghadapi pertanyaan bagaimana keadilan dapat tercapai kini dan di
sini. Akan tetapi hal ini mengantar pada suatu pertanyaan mendasar: apakah
keadilan itu? Ini adalah persoalan penalaran praktis, akan tetapi agar nalar
dapat sepenuhnya bekerja, dia harus senantiasa dimurnikan, sebab dia tidak
dapat sepenuhnya bebas dari bahasa kebutaan etis karena pengaruh bias kekuasaan
dan kepentingan tertentu.
Di sini politik dan iman bertemu. Iman dari hakekat
khasnya adalah perjumpaan dengan Allah yang hidup - sebuah perjumpaan yang
membuka horison baru yang melampaui ruang cakupan akal budi. Maka itu adalah
pula suatu daya yang memurnikan akal budi. Dari sudut pandang Allah, iman
membebaskan akal budi dari situasi kebutaannya dan karenanya membantunya
semakin menjadi dirinya sendiri. Iman memampukan akal budi menjalankan tugasnya
secara lebih efektif dan melihat perkara yang dihadapinya secara lebih jelas.
Di sinilah ajaran sosial Gereja mendapatkan tempatnya: tidak dimaksudkan untuk
memberikan ruang kekuasaan pada Gereja yang melebihi ruang kekuasaan
pemerintah. Tidak juga dia mencoba untuk mempengaruhi mereka yang tidak ambil
bagian dalam cara berpikir dan sikap yang tidak sesuai dengan iman. Tujuannya
sangatlah sederhana membantu untuk memurnikan akal budi dan memberikan
sumbangan, kini dan di sini, untuk mengenali dan mewujudkan apa yang adil.
Ajaran sosial Gereja berargumen berdasarkan nalar
dan hukum kodrat, yaitu berdasarkan apa yang sesuai dengan kodrat setiap umat
manusia. Diakuinya bahwa bukanlah tugas Gereja untuk menjadikan ajarannya
menguasai kehidupan politik. Melainkan, Gereja berharap, untuk membantu
pembentukan nurani dalam kehidupan politik dan memberikan inspirasi bagi
semakin luasnya wawasan yang dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan, demikian
pula kesediaan yang lebih besar untuk bertindak secara benar, betapapun hal itu
mungkin membawa pada konflik dengan kepentingan pribadinya. Membangun tata
sosial dan norma yang adil, di mana setiap pribadi menerima apa yang seharusnya
diterimanya, merupakan tugas utama yang setiap generasi harus membangunnya
secara baru. Sebagai suatu tugas politik, ini bukanlah tugas langsung Gereja.
Akan tetapi karena ini adalah pula tugas penting umat manusia, Gereja
berkewajiban untuk memberikan sumbangannya khasnya, melalui pemurnian akal budi
dan pembentukan etika, sehingga tuntutan akan keadilan dipahami dan terwujudkan
secara politis.
Gereja tidak dapat dan tidak harus masuk dalam
pertarungan politik untuk memungkinkan terwujudnya keadilan. Dia tidak dapat
dan tidak harus menggantikan pemerintah. Namun dia pada saat yang sama tidak
dapat dan tidak harus tinggal diam dalam memperjuangkan keadilan. Dia memainkan
perannya melalui argumentasi rasional dan dia menumbuhkan daya rohani yang tanpanya
keadilan, yang senantiasa menuntut pengorbanan, tidak akan dapat terwujud dan
tumbuh dengan baik. Masyarakat yang adil harus dicapai melalui politik, bukan
melalui Akan tetapi perjuangan akan keadilan dalam upayanya agar berjalan dalam
keterbukaan budi dan kehendak akan apa yang dibutuhkan oleh kepentingan umum
adalah sesuatu yang sangat menjadi perhatian Gereja.
b) Kasih —caritas—
akan senantiasa semakin dibutuhkan, walaupun dalam masyarakat yang paling adil
sekalipun. Tidak ada memang tatanan negara yang begitu adil sehingga dapat
menghapuskan kebutuhan akan adanya pelayanan kasih. Namun siapa saja yang ingin
menghapuskan kasih bersiap untuk menghapus pribadi manusia pula. Senantiasa ada
penderitaan yang meneriakkan datangnya penghiburan dan pertolongan. Senantiasa
ada kesepian. Senantiasa ada situasi kebutuhan material di mana pertolongan
dalam bentuk konkret kasih akan sesama sangatlah penting . Pemerintahan yang
menyediakan segalanya, menarik semua ke dalam dirinya, sepenuhnya hanya menjadi
birokrasi, yang tidak mampu menjamin semua hal yang dibutuhkan mereka
menderita, dan bahkan setiap orang, yaitu perhatian kasih personal. Kita tidak
membutuhkan suatu pemerintahan yang mengatur dan mengontrol segala hal,
melainkan sebuah pemerintahan yang, sesuai dengan prinsip subsidiaritas, dengan
besar hati mengakui dan mendukung inisiatif yang muncul dari berbagai kekuatan
sosial yang berbeda serta mampu memadukan spontanitas dengan kedekatan pada
mereka yang membutuhkan. Gereja adalah salah satu dari kekuatan hidup itu: dia
hidup dengan kasih yang terpancar dari Roh Kristus. Kasih ini tidak sekedar
memberikan pada sesama pertolongan material, namun menguatkan dan memperhatikan
jiwa mereka, sesuatu yang tidak jarang jauh lebih dibutuhkan daripada dukungan
material. Akhirnya, pernyataan bahwa struktur sosial yang adil dapat menjadikan
karya-karya karitatif tidak lagi dibutuhkan menguakkan konsepsi materialistik
akan manusia: gagasan keliru bahwa manusia dapat hidup "hanya dari roti
saja" (Mat 4,4; Ul 8,3) - suatu keyakinan yang merendahkan manusa dan
sepenuhnya tidak menghargai segala apa yang secara khas manusiawi.
29. Kita kini
dapat memastikan secara lebih tepat, dalam kehidupan Gereja, relasi antara
komitmen akan keadilan yang dijalani pemerintah dan masyarakat di satu sisi,
dan kegiatan kasih yang dijalankan secara terorganisatoris di sisi lain. Kita
telah melihat bahwa pembentukan struktur yang adil tidak secara langsung
merupakan tugas Gereja, namun menjadi bagian dari dunia politik, tataran
otonomi pertanggungjawaban akal budi. Gereja memiliki tugas tidak langsung di
sini, yang di dalamnya dia dipanggil untuk memberikan sumbangan bagi pemurnian
akal budi dan pembangkitan daya-daya moral yang tanpanya struktur yang adil
tidak saja tidak dapat dibangun namun pula tidak akan dapat secara efektif
dijalankan.
Sebaliknya yang mengemban tugas untuk secara
langsung berkarya bagi terbangunnya tata masyarakat yang ada sepenuhnya adda
pada kaum awam beriman. Sebagai warga negara, mereka sesuai dengan kapasitas
pribadinya dipanggil untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Maka mereka
tidak bisa menghindar dari keterlibatan "secara berbeda-beda dalam
berbagai bidang ekonomi, sosial, legislatif, administratif maupun budaya, yang
dimaksudkan untuk memperjuangkan kepentingan umum baik secara organikalis
maupun institusionalis" . Tugas perutusan yang diemban umat beriman awam
dengan demikian adalah membangun kehidupan sosial yang baik, yang di dalam
menghargai otonomi yang sah dan dalam kerjasama dengan warga lain seturut
kompetensi masing-masing dan dalam pewujudan tugas tanggungjawab yang
dimilikinya . Pun jika pewujudan karya kasih khas Gereja tidak dapat disamakan
dengan aktivitas negara, tetaplah berlaku benar bahwa kasih harus menjiwai
seluruh hidup umat beriman awam, dan demikian pula keterlibatan politisnya,
mewujudkan hidup sebagai 'kasih sosial'.
Organisasi-organisasi karitatif Gereja, di sisi
lain, mewujudkan suatu opus proprium, tugas yang sesuai dengannya, yang di
dalamnya dia tidak bekerjasama secara kolateral, namun berkarya sebagai subjek
dalam tugas tanggungjawabnya secara langsung, menjalankan apa yang sesuai
dengan hakekatnya. Gereja tidak dapat dikecualikan dari karya kasih sebagai
keterlibatan terorganisasi umat beriman, dan di sisi lain, tidak ada situasi di
mana tindakan cintakasih masing-masing umat Kristiani tidak diperlukan, sebab di
mana ada kebutuhan akan keadilan, di situ selalu dibutuhkan pula kasih.
Keberagaman struktur karya pelayanan kasih dalam konteks sosial dewasa ini
30. Sebelum mencoba merumuskan gambaran khas karya Gereja dalam melayani umat manusia, saya hendak mencoba untuk menyimak secara umum situasi penegakan keadilan dan kasih di dunia dewasa ini.
Keberagaman struktur karya pelayanan kasih dalam konteks sosial dewasa ini
30. Sebelum mencoba merumuskan gambaran khas karya Gereja dalam melayani umat manusia, saya hendak mencoba untuk menyimak secara umum situasi penegakan keadilan dan kasih di dunia dewasa ini.
a) Kini sarana
komunikasi masa membuat bumi ini menjadi semakin kecil, jarak antara bangsa dan
budaya dengan cepat semakin dipersempit. "Kebersamaan" yang seperti
ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan ketegangan, karenanya kemampuan kita
untuk segera mengenali kebutuhan sesama menantang kita untuk terlibat dalam
situasi dan kesulitan mereka. Di samping kemajuan pesat yang dibuat oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, setiap hari kita menyaksikan betapa masih banyak
penderitaan di tengah dunia ini, akibat adanya berbagai bentuk kemiskinan, baik
material maupun spiritual. Kesediaan baru untuk membantu sesama yang
membutuhkan merupakan panggilan bagi kita dewasa ini. Konsili Vatikan II
membicarakan persoalan ini dengan sangat jelas, "Dewasa ini, melalui
sarana komunikasi yang semakin baik, jarak antar kelompok masyarakat dapat
dikatakan hampir terhapus, pelayanan kasih dapat dan harus menyapa semua
kelompok masyarakat dan semua kebutuhan".
Di sisi lain - di sini kita melihat salah satu
tantangan yang adalah pula sisi positif dari globalisasi - kini tersedia
berbagai sarana pendukung bagi bantuan kemanusiaan pada saudara-saudari kita
yang membutuhkan, paling tidak sistem modern dalam membagikan makanan dan
pakaian, dan dalam menyediakan perumahan dan kesehatan. Perhatian akan sesama
melampaui batas kebangsaan dan horisonnya berkembang luas ke seluruh dunia.
Konsili Vatikan II secara tepat memberikan amatannya, "di antara tanda-tanda
zaman dewasa ini, salah satu yang patut dicatat adalah perkembangan pesat rasa
solidaritas antar kelompok masyarakat" . Badan-badan negara dan
kelompok-kelompok kemanusiaan telah berupaya memperkembangkan dan mewujudkan
ini semua, badan-badan negara dengan melalui pemberian subsidi atau pemotongan
pajak, sedangkan kelompok-kelompok kemanusiaan dengan kemampuannya untuk
mengumpulkan sumber-sumber dana. Solidaritas yang tumbuh dalam masyarakat
sosial ini merupakan tanda nyata dari solidaritas yang ditampakkan oleh
pribadi-pribadi.
b) Situasi ini
membawa pada lahir dan berkembangnya bentuk-bentuk kerjasama antara badan-banda
negara dan Gereja, yang telah membuahkan hasil. Badan-badan Gereja, dengan cara
kerja yang transparan dan kesetiaannya dalam menjalankan tugas perutusan untuk memberikan
kesaksian kasih, dapat pula dengannya menumbuhkembangkan kualitas Kristiani
pada badan-badan sipil, dengan mendorong adanya saling koordinasi sehingga
semakin mengembangkan efektivitas pelayanan karitatif . Berbagai
organisasi-organisasi yang bertujuan karitatif atau philantropik telah pula
dibentuk dan mereka berkehendak untuk menanggapi secara tepat solusi
kemanusiaan akan problem-problem sosial dan politik dewasa ini. Tanda jelasnya,
dewasa ini dapat dilihat tumbuhnya dan tersebarnya berbagai bentuk
kelompok-kelompok relawan, yang bergerak dalam berbagai bentuk pelayanan . Di
sini saya ingin secara khusus memberikan ungkapan terimakasih dan penghargaan
pada mereka yang dengan berbagai cara ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan
tersebut. Bagi kaum muda, keterlibatan secara penuh pada kegiatan ini merupakan
suatu sekolah kehidupan yang memberi mereka pendidikan akan solidaritas dan
akan kesiapsediaan memberi pada sesama tidak saja bantuan material namun pula
dirinya sendiri. Budaya kematian yang negatif, yang mewujud antara lain dalam
penggunaan obat, kini dilawan dengan kasih yang tidak mementingkan diri sendiri
yang ditampakkan oleh budaya kehidupan, dalam kesediaan untuk "kehilangan
dirinya sendiri" (lih Luk 17,33 dan pararelnya) bagi sesama.
Di dalam Gereja Katolik, pun pula dalam
Gereja-gereja dan komunitas Gerejani lainnya, bentuk-bentuk baru pelayanan
karitatif berkembang, sementara yang lain, yang lama menemukan hidup dan daya
baru. Dalam bentuk-bentuk baru ini, tidak jarang memungkinkan untuk membangun
kaitan yang berharga antara evangelisasi dan karya-karya karitatif. Di sini
saya ingin secara jelas menegaskan kembali apa yang telah oleh pendahulu saya
yang besar, Yohanes Paulus II, ditulis dalam ensikliknya Sollicitudo Rei
Socialis , ketika dia menyatakan kesediaan Gereja Katolik untuk bekerjasama
dengan badan-badan karitatif dari Gereja maupun komunitas tersebut, karena kita
semua memiliki motivasi dasar yang sama dan mengarah pada tujuan yang sama:
kemanusiaan sejati, yang mengakui bahwa manusia dicipta seturut gambar Allah
dan bermaksud membantunya untuk hidup dalam cara yang sesuai dengan
martabatnya. Ensikliknya Ut Unum Sint menekankan bahwa pembentukan dunia yang
lebih baik menuntut agar umat Kristiani berbicara dalam satu suara dalam karya-karya
yang terinspirasikan oleh "penghargaan akan hak-hak asasi dan kebutuhan
setiap orang, terlebih yang miskin, rendah dan tak terlindungi" . Di sini
saya ingin menyatakan rasa gembira bahwa permintaan tersebut telah menemukan
tanggapan yang meluas dalam berbagai inisiatif di seluruh kawasan dunia.
Kekhasan
karya kasih Gereja
31. Berkembangnya
organisasi-organisasi berbeda yang terlibat untuk menjawab berbagai kebutuhan
umat manusia pada dasarnya menunjukkan secara tepat kenyataan perintah kasih akan
sesama adalah sesuatu yang ditanamkan oleh Pencipta di dalam hakekat terdalam
manusia. Hal itu adalah pula buah dari kehadiran Kristianitas di dunia, karena
sejak semula Gereja Kristiani secara terus-menerus menghidupkan dan mewujudkan
perintah ini, betapapun tidak jarang hal itu tidak terlihat jelas di tengah
perjalanan waktu. Pembaharuan paganisme yang dicoba oleh Kaisar Yulianus
Apostatus merupakan suatu contoh awal akan hal ini; di sini kita melihat
bagaimana daya Kristiani berkembang meluas melampaui batas iman Kristiani.
Karenanya, menjadi sangat penting bahwa karya kasih Gereja tetap mempertahankan
semua sinar terang keluhurannya dan tidak hanya sekedar melaksanakan bantuan
sosial belaka. Akan tetapi, apakah sebenarnya unsur dasar dari kasih Kristiani
dan Gerejani?
a) Mengikuti
contoh yang diberikan dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang murah hati,
kasih Kristiani terutama adalah tanggapan seketika akan kebutuhan langsung dan
akan situasi-situasi tertentu: memberi makan mereka yang lapar, memberi pakaian
mereka yang telanjang, merawat dan menyembuhkan yang sakit, mengunjungi mereka
yang berada dalam penjara, dan seterusnya. Organisasi-organisasi karitatif
Gereja, dimulai dengan Caritas (baik di tingkat keuskupan, nasional maupun
internasional), harus melakukan dengan segala upaya dan daya untuk menyediakan
sumber dana, namun terlebih personal yang dibutuhkan bagi karya tersebut.
Pribadi-pribadi yang terlibat dalam karya pada mereka yang membutuhkan itu
harus memiliki kompetensi profesional: mereka telah terlatih sehingga tahu apa
yang harus dibuat dan bagaimana menjalankannya, serta setia dalam komitmen
untuk terus melayani. Namun, betapapun kompetensi profesional sesuatu yang
utama dan mendasar, hanya dengan itu saja tidaklah cukup. Kita berhadapan
dengan pribadi manusia, dan pribadi manusia senantiasa membutuhkan sesuatu
lebih daripada sekedar pelayanan teknis. Mereka membutuhkan kemanusiaan. Mereka
membutuhkan perhatian penuh kasih. Mereka yang bekerja bagi organisasi
pelayanan kasih Gereja harus pula memiliki tanda nyata bahwa mereka tidak hanya
begitu saja melayani sesama yang membutuhkan secara instans, namun
mendedikasikan dirinya bagi sesama dengan perhatian kasih, sehingga menjadikan
mereka mampu mengalami kekayaan kemanusiaan mereka yang dilayaninya.
Konsekuensinya, perlu ditambahkan dalam persyarakat profesionalitas ini,
pelayan kasih membutuhkan "pendidikan hati": mereka perlu dituntun
untuk berjumpa dengan Allah di dalam Kristus, yang telah menumbuhkan kasih
dalam diri mereka dan membuka hati mereka akan sesama. Kasih akan sesama bagi
mereka, dengan demikian, tidak lagi suatu perintah yang tertanam dari luar,
demikian bisa dikatakan, namun sebagai suatu konsekuensi yang tumbuh dari iman
mereka, iman yang menjadi nyata melalui kasih (lih. Gal 5,6).
b) Karya kasih
Kristiani harus bebas dari partai dan ideologi. Karya kasih bukanlah sarana
untuk secara ideologis mau mengubah dunia, dan tidak pula melayani kepentingan
strategis dunia, namun suatu tanda yang menghadirkan kini dan di sini kasih
yang dibutuhkan umat manusia. Abad modern, terlebih sejak abad 19, didominasi
oleh berbagai versi filsafat perkembangan, yang bentuknya yang paling radikal
adalah Marxisme. Salah satu bagian dari strategi Marxisme adalah teori
pemiskinan: dalam situasi ketidakadilan kekuasaan, demikian dinyatakannya,
setiap orang yang terlibat dalam tindakan karitatif pada dasarnya melayani
sistem yang tidak adil, sebagaimana hal itu tampak paling tidak sampai pada
beberapa wujud yang masih dapat ditolerir. Hal ini perlahan menggerakkan suatu
kemungkinan adanya revolusi, dan karenanya malahan menghalangi upaya perjuangan
bagi dunia yang lebih baik. Tampak dalam cara ini, kasih ditolak dan dituduh
sebagai sarana untuk melanggengkan status quo. Akan tetapi apa yang ada di
sini, sepenuhnya adalah filsafat yang tak manusiawi. Orang-orang dewasa ini
dikorbankan demi suatu moloch masa depan - masa depan yang pewujudannya secara
efektif sangat diragukan. Seseorang tidak dapat membangun dunia menjadi semakin
manusiawi dengan menolak tindakan manusiawi kini dan di sini. Kita memberikan
sumbangan bagi dunia yang lebih baik hanya dengan secara personal dan konkret
berbuat baik, dengan komitmen sungguh, dan kapanpun juga ada kesempatan untuk
itu, bebas dari strategi dan program partisan. Program Kristiani - adalah
program Orang Samaria yang murah hati, yang tak lain adalah program Yesus -
adalah "hati yang mencari". Hati mencari di mana kasih dibutuhkan dan
diwujudkan di dalamnya. Tentu saja, ketika karya karitatif dijalankan oleh Gereja
sebagai inisiatif komunitarian, spontanitas pribadi harus dipadukan dengan
rencana, antisipasi dan kerjasama dengan lembaga-lembaga serupa lainnya.
c) Kasih, lebih
lanjut, tidak dapat digunakan sebagai sarana yang terkait dengan akan apa yang
dewasa ini disadari sebagai proselitisme. Kasih itu bebas, tidak dibuat sebagai
cara untuk menggapai tujuan lain . Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa
karya kasih dengan berbagai cara dapat menanggalkan Allah dan Kristus.
Senantiasa perhatian akan umat manusia lah yang bekerja dalam karya kasih. Dan
tidak jarang akar terdalam dari penderitaan adalah ketidakhadiran Allah. Mereka
yang menjalankan karya kasih atas nama Gereja jangan sampai tidak mencoba untuk
menanamkan iman Gereja pada sesama. Mereka menyadari bahwa kasih sejati dan
cuma-cuma adalah kesaksian terbaik akan Allah, yang di dalamnya kita percaya
dan olehnya kita didorong untuk mengasihi. Orang Kristiani tahu kapan waktunya
berbicara tentang Allah, dan kapan waktu untuk lebih baik tidak berkata apa-apa
serta membiarkan kasih itu sendiri yang berbicara. Dia tahu bahwa Allah adalah
kasih (lih 1 Yoh 4,8) dan kehadiran Allah dirasakan jika satu-satunya yang
dibuat hanyalah kasih. Dia tahu - kembali pada pertanyaan yang muncul
sebelumnya - bahwa penyangkalan akan kasih adalah penyangkalan akan Allah, dan
pun akan manusia; dia mencoba melakukan sesuatu tanpa Allah. Konsekuensinya,
pembelaan terbaik akan Allah dan manusia terletak persis di dalam kasih. Maka
adalah tugas tanggungjawab badan pelayanan kasih Gereja untuk menumbuhkan
kembali kesadaran ini pada para anggotanya, sehingga mereka dalam
aktivitas-aktivitas mereka - baik dalam kata-kata, maupun dalam diam, dalam
tindakan nyata - mereka menjadi saksi Kristus yang terpercaya.
Mereka yang bertanggungjawab akan pelayanan kasih Gereja
Mereka yang bertanggungjawab akan pelayanan kasih Gereja
32. Akhirnya, kita
harus memberikan sorotan sekali lagi pada mereka yang bertanggungjawab
menjalankan tugas pelayanan kasih Gereja. Sebagaimana jelas dalam refleksi saya
sebelumnya, bahwa subjek sesungguhnya dari berbagai organisasi Gereja yang
mengemban tugas pelayanan kasih adalah Gereja sendiri - di segala tingkatnya,
dari paroki, melalui Gereja setempat dan sampai pada Gereja universal. Dengan
alasan ini maka merupakan sesuatu yang sangat tepat kalau pendahulu saya yang terhormat
Paulus VI mendirikan Dewan Kepausan Cor Unum sebagai badan kepausan yang
bertanggungjawab akan orientasi dan koordinasi organisasi-organisasi dan
kegiatan-kegiatan karitatif yang dijalankan oleh Gereja Katolik. Sesuai dengan
struktur keuskupan Gereja, para uskup, sebagai pengganti para Rasul, memegang
tanggungjawab utama untuk mewujudkan dalam Gereja-Gereja setempat program yang
ditetapkan dalam Kisah para Rasul (lih 2,42-44): kini sebagaimana dulu, Gereja
sebagai keluarga Allah harus menjadi tempat di mana bantuan diberikan dan
diterima, dan pada saat yang sama, menjadi tempat menjadi tempat di mana
orang-orang disiapkan melayani mereka, betapapun berada di luar Gereja, yang
membutuhkan pertolongan. Dalam ritus tahbisan uskup, sebelum bagian pentahbisan,
calon harus menjawab beberapa pertanyaan yang menggambarkan unsur-unsur
mendasar jabatannya dan mengingatkan akan tugas tanggungjawab pelayanannya
nanti. Dia mengungkapkan janji juga untuk, dalam nama Tuhan, menerima dan
mengasihi mereka yang miskin dan mereka yang membutuhkan penghiburan dan
pertolongan . Kitab Hukum Kanonik, dalam kanon tentang pelayanan uskup, tidak
secara jelas menyebut kasih sebagai bagian khusus dari tugas uskup, namun lebih
bicara secara umum tentang tanggungjawab uskup untuk mengkoordinasi berbagai
karya-karya pastoral sesuai dengan karakter yang melekat padanya . Belum lama
ini Direktorium Pelayanan Pastoral Para Uskup mengungkapkan secara khusus
pelayanan kasih sebagai tugas yang melekat pada jati diri seluruh Gereja dan pada
masing-masing Uskup di keuskupannya , dan menekankan bahwa pewujudan kasih pada
dirinya sendiri merupakan tindakan Gereja, dan bahwa, sebagaimana pelayanan
Sabda dan Sakramen, sejak semula merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
tugas pelayanan Gereja .
33. Terkait dengan personil yang secara praktis menjalankan tugas pelayanan kasih Gereja, hal pokok telah dikatakan: mereka jangan mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih (lih Gal 5,6). Konsekuensinya, lebih daripada yang lain, mereka harus menjadi pribadi yang digerakkan oleh kasih Kristus, pribadi-pribadi yang hatinya telah dikuasai oleh Kristus dengan cinta-Nya, sehingga tumbuh dengannya kasih akan sesama. Kriteria yang menjadi inspirasi kegiatan mereka haruslah adalah pernyataan Santo Paulus dalam surat keduanya kepada umat di Korintus, "Kasih Kristus menguasai kami" (2 Kor 5,14). Kesadaran bahwa, di dalam Kristus, Allah memberikan diri-Nya sampai mati kepada kita, harus menjadi inspirasi bagi kita untuk hidup tidak lagi bagi diri kita sendiri, melainkan bagi Dia, dan di dalam Dia, bagi sesama. Siapa saja yang mencintai Kristus pasti mencintai Gereja, dan menghendaki Gereja menjadi semakin berkembang sebagai gambaran dan sarana kasih yang mengalir dari Kristus. Mereka yang berkarya bagi organisasi-organisasi karitatif Gereja senantiasa ingin bekerja bersama Gereja, dan karenanya dengan Uskup, sehingga kasih Allah dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan ikut serta dalam tindakan kasih Gereja, mereka ingin menjadi saksi Allah dan saksi Kristus, dan mereka menginginkan itu untuk sepenuhnya secara berbuat segala hal yang baik bagi semua.
33. Terkait dengan personil yang secara praktis menjalankan tugas pelayanan kasih Gereja, hal pokok telah dikatakan: mereka jangan mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih (lih Gal 5,6). Konsekuensinya, lebih daripada yang lain, mereka harus menjadi pribadi yang digerakkan oleh kasih Kristus, pribadi-pribadi yang hatinya telah dikuasai oleh Kristus dengan cinta-Nya, sehingga tumbuh dengannya kasih akan sesama. Kriteria yang menjadi inspirasi kegiatan mereka haruslah adalah pernyataan Santo Paulus dalam surat keduanya kepada umat di Korintus, "Kasih Kristus menguasai kami" (2 Kor 5,14). Kesadaran bahwa, di dalam Kristus, Allah memberikan diri-Nya sampai mati kepada kita, harus menjadi inspirasi bagi kita untuk hidup tidak lagi bagi diri kita sendiri, melainkan bagi Dia, dan di dalam Dia, bagi sesama. Siapa saja yang mencintai Kristus pasti mencintai Gereja, dan menghendaki Gereja menjadi semakin berkembang sebagai gambaran dan sarana kasih yang mengalir dari Kristus. Mereka yang berkarya bagi organisasi-organisasi karitatif Gereja senantiasa ingin bekerja bersama Gereja, dan karenanya dengan Uskup, sehingga kasih Allah dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan ikut serta dalam tindakan kasih Gereja, mereka ingin menjadi saksi Allah dan saksi Kristus, dan mereka menginginkan itu untuk sepenuhnya secara berbuat segala hal yang baik bagi semua.
34. Keterbukaan
batiniah akan dimensi katolisitas Gereja mendorong para pelayan kasih untuk
bekerja dalam kesatupaduan dengan organisasi-organisasi lainnya dalam melayani
berbagai bentuk kebutuhan, akan tetapi di dalamnya tetap perlu ada penghargaan
akan apa yang menjadi ciri menentukan akan pelayanan yang dimintakan Kristus
dari para murid-Nya. Santo Paulus, dalam kidung kasihnya (lih 1 Kor 13)
mengajarkan kepada kita bahwa kasih lebih daripada sekedar suatu aktivitas,
"Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan
menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih,
sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku" (1 Kor 13,3). Kidung tersebut
merupakan suatu Magna Charta bagi semua pelayanan gerejani; karena itu
menyimpulkan semua refleksi tentang kasih yang saya paparkan dalam ensiklik
ini. Aktivitas praktis tidak akan menjadi penuh, jika tidak secara nyata
mengungkapkan kasih akan manusia, sebuah kasih yang bersumber pada perjumpaan
dengan Kristus. Tindakan terdalam diri saya untuk ambil bagian pada kebutuhan
dan penderitaan sesama menjadi suatu wujud ambil bagian keseluruhan diri saya
dengan mereka: agar pemberian saya tidak merendahkan, saya harus memberikan
kepada sesama tidak saja sesuatu yang dari milik saya, namun memberikan diri
saya sendiri; Saya harus secara personal hadir dalam apa yang saya berikan.
35. Cara tepat
dalam melayani sesama seperti ini akan membawa pada kerendahan hati. Seseorang
yang melayani tidak melihat dirinya lebih daripada mereka yang dilayani,
betapapun secara menyedihkan hal ini suatu ketika bisa terjadi. Kristus
mengambil tempat yang paling hina di dunia - salib - dan dengan kerendahan hati
yang radikal ini Dia menebus kita dan senantiasa hadir untuk membantu kita.
Seseorang yang berada dalam posisi menolong sesama perlu menyadari bahwa dengan
memberi dia sendiri menerima; ketersediaan untuk melayani sesama bukanlah untuk
keuntungan atau kebanggaan diri sendiri. Tugas tanggungjawab ini adalah rahmat.
Semakin kita melakukannya untuk sesama, semakin kita memahami dan dapat
meresapkan kata-kata Kristus, "Kami ini adalah hamba-hamba yang tidak
berguna" (Luk 17,10). Kita mengakui bahwa kita bertindak tidak berdasarkan
superioritas atau bayangan diri lebih besar, namun karena Allah secara
cuma-cuma telah memampukan kita untuk melakukan itu. Beberapa kali terjadi
ketika kebutuhan begitu membengkak sementara kita memiliki keterbatasan untuk
menanggapinya bisa jadi lalu kita menjadi patah semangat. Akan tetapi kemudian
kita terbantu dengan memahami bahwa, akhirnya, kita hanyalah alat di tangan Tuhan;
dan kesadaran ini membebaskan kita dari pikiran yang menganggap bahwa kita
sendiri bertanggungjawab akan terwujudnya dunia yang lebih baik. Dengan segala
kerendahan hati kita mempercayakan hasilnya kepada Tuhan. Allah yang mengatur,
dan bukan kita. Kita mempersembahkan kepada-Nya pelayanan kita hanya sejauh
kita mampu, dan sejauh Dia memberi kita daya kekuatan. Melakukan segala apa
yang kita dapat lakukan dengan daya kekuatan yang ada pada diri kita, adalah
tugas pelayanan yang menjadikan hamba setia Yesus Kristus senantiasa saat
berkarya mengingat, "Kasih Kristus yang menguasai kami" (2 Kor 5,14).
36. Kalau kita menyadari akan begitu besarnya kebutuhan sesama, kita dapat, di satu pihak, berpaling pada ideologi yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang dianggap tidak dapat ditangani oleh kuasa Allah di dunia ini: sepenuhnya memecahkan setiap problem. Atau kita dapat tergoda untuk mengambil sikap pasif, tidak peduli, karena terlihat dalam semuanya tidak ada yang dapat dicapai. Pada saat seperti ini, suatu relasi yang hidup dengan Kristus adalah mutlak agar kita dapat senantiasa berada pada jalan yang benar, tanpa terjebak jatuh ke dalam kesombongan yang menghancurkan diri, sesuatu yang tidak saja tidak membantu namun pula sebenarnya destruktif, atau menyerah dengan menarik diri yang menjadikan kita tidak mau dibimbing oleh kasih untuk melayani sesama. Doa, sebagai sarana untuk menimba daya kekuatan baru dari Kristus, lalu secara konkret dan mendesak dibutuhkan. Mereka yang berdoa tidaklah membuang-buang waktu mereka, betapapun mungkin situasi terlihat mendesak dan sepertinya hanya memanggil untuk bertindak. Kesalehan tidaklah memperlemah perjuangan melawan kemiskinan sesama kita, seberapapun ekstremnya. Dari teladan Ibu Teresa kita mendapatkan suatu gambaran yang jelas bahwa waktu yang dikhusukan bagi Allah dalam doa tidak hanya tidak menjauhkan kita dari pelayanan kasih akan sesama yang berguna, namun kenyataannya merupakan sumber bagi pelayanan yang tiada pernah habis mengalir. Dalam surat Prapaskanya di tahun 1996, Beata Teresa menulis pada para rekan kerja awamnya, "Kita membutuhkan relasi mendalam dengan Allah dalam hidup kita sehari-hari. Bagaimana kita dapat memenuhinya? Dengan doa!".
37. Kinilah
saatnya untuk menegaskan kembali pentingnya doa di tengah kenyataan aktivisme
dan berkembangnya sekularisme di kalangan umat Kristiani yang terlibat dalam
karya karitatif. Jelas, doa umat Kristiani tidak dimaksudkan untuk mengubah
rencana Allah atau mengoreksinya apa yang telah ditetapkan-Nya. Lebih daripada itu,
dia membangun relasi dengan Bapa Yesus Kristus dan memohon agar Allah hadir
dalam bimbingan penghiburan Roh Kudus dalam dirinya dan karyanya. Suatu relasi
pribadi dengan Allah dan penanggalan kehendak dirinya dapat mencegah seseorang
menjadi tidak berharga dan menyelamatkannya agar tidak jatuh menjadi kurban
ajaran yang menumbuhkan fanatisme dan terorisme. Sikap religius yang otentik
mencegah seseorang mengangkat diri menjadi hakim untuk mengadili Allah,
menuduh-Nya membiarkan kemiskinan dan gagal menyatakan belarasanya pada
ciptaan-Nya. Kalau orang-orang bermaksud memperkarakan Allah untuk membela
manusia, kepada siapa mereka bergantung ketika aktivitas manusia tidak lagi
berdaya?
38. Benar, Ayub
berkeluh-kesah di hadapan Allah tentang adanya penderitaan di dunia yang tak
terpahami dan terasa pula tidak adil. Dalam keterlukaannya dia berteriak,
"Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Dia
bersemayam. ... Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya
kepadaku. Sudikah Dia mengadakan perkara dengan aku dalam kemahakuasaan-Nya?
... Itulah sebabnya hatiku gemetar menghadapi Dia, kalau semuanya itu
kubayangkan, maka aku ketakutan terhadap Dia. Allah telah membuat aku putus
asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar" (Ayb 23,3.5-6.15-16).
Sering kita tidak dapat memahami mengapa Allah seakan menolak untuk campur
tangan. Namun Dia tidak melarang kita untuk berteriak, sebagaimana Yesus berseru
dari atas kayu Salib, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?" (Mat 27, 46). Kita dapat melanjutkan mengajukan gugatan semacam ini
ke hadapan-Nya dalam dialog bersuasanakan doa, "Berapa lama lagi, yang
Penguasa yang kudus dan benar?" (Why 6,10). Adalah Santo Augustinus yang
memberi kita jawaban iman akan penderitaan kita, “Si comprehendis, non est
Deus”—”Kalau kamu memahaminya, Dia bukanlah Allah" . Ungkapan gugatan kita
tidaklah untuk menantang Allah, atau untuk menyatakan bahwa kesalahan, kelemahan
atau ketidakpedulian ada pada-Nya. Bagi umat beriman, adalah mustahil
membayangkan bahwa Allah itu tidak berdaya atau "barangkali ia tidur"
(lih 1 Raj 18,27). Sebaliknya, seruan kita adalah, sebagaimana pada Yesus di
kayu Salib, ungkapan peneguhan iman yang paling dalam dan radikal di hadapan
kemuliaan kuasa-Nya. Malahan dalam kebingungan serta kegagalan untuk memahami
dunia di sekitarnya, umat Kristiani terus senantiasa percaya bahwa "nyata
kemurahan Allah dan kasih-Nya kepada manusia" (Tit 3,4). Kg 18:27).
Betapapun sebagaimana setiap orang yang lain tenggelam dalam rangkaian
kompleksitas peristiwa historis yang dramatis, mereka tetap kukuh dalam iman
bahwa Allah adalah Bapa kita dan Dia mencintai kita, pun saat Dia secara tak
terselami tinggal diam.
39. Iman, harapan
dan cintakasih ada bersama. Harapan diwujudkan melalui keutamaan kesabaran,
yang terus berbuat baik pun saat kegagalan jelas dihadapi, dan melalui
keutamaan kerendahan hati, yang menerima misteri Allah dan percaya penuh
pada-Nya pun di saat kegelapan. Iman menunjukkan kepada kita bahwa Allah telah
memberikan Putra-Nya demi keselamatan kita dan memberi kita keyakinan yang tak
terkalahkan bahwa sungguh benar: Allah adalah kasih! Hal itu akan mengubah
ketidaksabaran dan keraguan kita menuju pada harapan pasti bahwa dunia berada
di tangan Allah dan bahwa, sebagaimana gambaran dramatisnya diperlihatkan di
bagian akhir kitab Wahyu, Dia sepenuhnya mengalahkan segala kegelapan yang ada
dalam kemenangan mulia. Iman, yang melihat kasih Allah ternyatakan di dalam
hati Yesus yang tertikam di Salib, menumbuhkan kasih. Kasih adalah cahaya - dan
pada akhirnya, hanyalah satu-satunya terang - yang dapat menerangi dunia yang
tumbuh dalam kegelapan, dan memberi kita daya kekuatan yang dibutuhkan agar
kasih tetap hidup dan bekerja. Kasih adalah sesuatu yang mungkin, dan kita
dapat mewujudkannya karena kita diciptakan dalam gambar Allah. Mengalami kasih
dan dengan demikian membawakan terang Allah ke tengah dunia, adalah undangan
yang saya sampaikan untuk semakin disebarkan dengan hadirnya ensiklik ini.
KESIMPULAN
40. Akhirnya, marilah kita mengenang para kudus, yang mewujudkan kasih dengan cara yang istimewa. Kenangan kita secara khusus terarah pada Martinus dari Tours († 397), prajurit yang menjadi rahib dan uskup: dia hampir seperti sebuah ikon, gambaran akan kesaksian kasih pribadi yang nilainya tak tergantikan. Di pintu gerbang Amiens, Martinus membagi dua mantelnya dan memberikannya pada seorang miskin: Yesus sendiri, yang pada malam itu menampakkan diri kepadanya dalam mimpi dengan mengenakan mantel tersebut. Hal itu menegaskan kebenaran abadi dari apa yang dikatakan dalam Injil, "Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian ... segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25, 36.40) . Dalam sejarah Gereja, ada begitu banyak kesaksian lain yang bisa dikutip! Secara khusus, keseluruhan gerakan monastik, dari awal mulanya dari Santo Antonius Abbas (* 356), menggambarkan kekayaan pelayanan kasih akan sesama yang mengagumkan. Dalam perjumpaan "dari wajah ke wajah" dengan Allah, yang adalah kasih, para rahib merasakan dorongan panggilan untuk mengubah seluruh hidupnya untuk melayani sesama, untuk melengkapi pengabdiannya pada Allah. Hal ini menjelaskan adanya tekanan besar akan hospitalitas, penampungan dan perawatan mereka yang sakit di lingkungan sekitar biara. Hal itu menerangkan pula akan tidak terhitungnya inisiatif akan pertumbuhan manusia dan pendidikan Kristiani, yang tertuju pada mereka yang sangat miskin, yang sebelumnya menjadi tujuan pelayanan ordo monastik dan mendikans, dan kemudian melalui berbagai tarekat religius pria dan wanita di sepanjang perjalanan sejarah Gereja. Tokoh-tokoh para kudus seperti Fransiskus Assisi, Ignasius Loyola, Yohanes dari Tuhan, Camillus Lellis, Vincentius de Paulo, Louise de Marillac, Guiseppe B. Cottolengo, Yohanes Bosko, Luigi Orione, Teresa dari Calcutta untuk menyebut beberapa - adalah teladan-teladan yang mengagumkan akan cintakasih pada semua orang yang berkehendak baik. Para kudus tersebut adalah benar-benar pembawa cahaya di tengah sejarah, sebab mereka adalah pria dan wanita dalam iman, harapan dan kasih.
40. Akhirnya, marilah kita mengenang para kudus, yang mewujudkan kasih dengan cara yang istimewa. Kenangan kita secara khusus terarah pada Martinus dari Tours († 397), prajurit yang menjadi rahib dan uskup: dia hampir seperti sebuah ikon, gambaran akan kesaksian kasih pribadi yang nilainya tak tergantikan. Di pintu gerbang Amiens, Martinus membagi dua mantelnya dan memberikannya pada seorang miskin: Yesus sendiri, yang pada malam itu menampakkan diri kepadanya dalam mimpi dengan mengenakan mantel tersebut. Hal itu menegaskan kebenaran abadi dari apa yang dikatakan dalam Injil, "Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian ... segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25, 36.40) . Dalam sejarah Gereja, ada begitu banyak kesaksian lain yang bisa dikutip! Secara khusus, keseluruhan gerakan monastik, dari awal mulanya dari Santo Antonius Abbas (* 356), menggambarkan kekayaan pelayanan kasih akan sesama yang mengagumkan. Dalam perjumpaan "dari wajah ke wajah" dengan Allah, yang adalah kasih, para rahib merasakan dorongan panggilan untuk mengubah seluruh hidupnya untuk melayani sesama, untuk melengkapi pengabdiannya pada Allah. Hal ini menjelaskan adanya tekanan besar akan hospitalitas, penampungan dan perawatan mereka yang sakit di lingkungan sekitar biara. Hal itu menerangkan pula akan tidak terhitungnya inisiatif akan pertumbuhan manusia dan pendidikan Kristiani, yang tertuju pada mereka yang sangat miskin, yang sebelumnya menjadi tujuan pelayanan ordo monastik dan mendikans, dan kemudian melalui berbagai tarekat religius pria dan wanita di sepanjang perjalanan sejarah Gereja. Tokoh-tokoh para kudus seperti Fransiskus Assisi, Ignasius Loyola, Yohanes dari Tuhan, Camillus Lellis, Vincentius de Paulo, Louise de Marillac, Guiseppe B. Cottolengo, Yohanes Bosko, Luigi Orione, Teresa dari Calcutta untuk menyebut beberapa - adalah teladan-teladan yang mengagumkan akan cintakasih pada semua orang yang berkehendak baik. Para kudus tersebut adalah benar-benar pembawa cahaya di tengah sejarah, sebab mereka adalah pria dan wanita dalam iman, harapan dan kasih.
41. Yang paling
utama dari kalangan para kudus adalah Maria, Bunda Tuhan dan cermin segala
kesucian. Dalam Injil Lukas kita temukan dia terlibat dalam pelayanan kasih
pada sepupunya, Elisabeth, yang tinggal bersamanya "kira-kira tiga bulan
lamanya" (Luk 1,56) untuk membantunya di masa-masa akhir kehamilannya.
“Magnificat anima mea Dominum”, dia mengatakannya dalam kunjungan itu,
"Jiwaku memuliakan Tuhan" (Luk 1,46). Dengan ungkapan ini dia
menyatakan keseluruhan program hidupnya: tidak meletakkan dirinya di pusat,
namun memberikan tempat bagi Allah, yang dijumpainya baik dalam doa maupun
dalam pelayanan kepada sesama - sebab hanya dengannya dunia menjadi lebih baik.
Kebesaran Maria terletak dalam kenyataan bahwa dia menginginkan kemuliaan
Allah, bukan dirinya. Dia rendah hati: hanya ingin menjadi hamba Tuhan (lih Luk
1,38. 48). Dia tahu bahwa dia ikut ambil bagian dalam keselamatan dunia, jika,
lebih daripada membawa keinginannya sendiri, namun menempatkan diri sepenuhnya
berada dalam kuasa kehendak Allah. Maria adalah perempuan harapan: sebab dia
hanya dalam percaya akan janji Allah dan menanti keselamatan Israel, Malaikat
dapat mengunjunginya dan menyatakan panggilan akan pelayanan menentikan bagi
pewujudan janji tersebut. Maria adalah perempuan beriman: "Berbahagialah
dia yang percaya", demikian dikatakan Elisabeth padanya (lih Luk 1,45).
Magnificat - yang adalah sebuah gambaran, bisa dikatakan demikian, jiwanya -
sepenuhnya tertenun dari rajutan Kitab Suci, rajutan yang berasal dari Sabda
Allah. Di sini kita melihat betapa dia di rumah sepenuhnya tinggal bersama
sabda Allah, dengan mudah dia masuk dan keluar darinya. Dia berbicara dan
berpikir dengan Sabda Allah; sabda Allah menjadi baginya sabdanya, dan sabdanya
bersumber dari Sabda Allah. Di sini kita melihat betapa pikirannya telah
menyatu dengan pikiran Allah, betapa kehendaknya menjadi satu dengan kehendak
Allah. Karena Maria sepenuhnya dipenuhi dengan Sabda Allah, maka dia layak
menjadi Ibu dari Sabda yang Menjelma. Akhirnya, Maria adalah perempuan yang
mencintai. Bagaimana mungkin dia menjadi berbeda dari lain? Sebagai orang beriman
yang dalam iman berpikir dalam pikiran Allah dan berkehendak dalam kehendak
Allah, dia hanya dapat menjadi perempuan yang mengasihi. Kita merasakan ini
dalam sikapnya yang lembut-tenang, sebagaimana diberitakan dalam kisah
kanak-kanak Yesus dalam Injil. Kita menemukannya hal ini secara lebih jelas
saat dia mengetahui apa yang dibutuhkan mempelai di Kana dan memberitahukannya
kepada Yesus. Kita mengenalinya dalam kerendahan hati yang ditampakkannya
dengan menarik diri selama kehidupan publik Yesus, saat mengetahui bahwa Putera
akan membangun keluarga baru dan bahwa saat Maria yang terwujud hanya dengan
Salib, yang adalah saat Yesus yang sebenarnya (lih Yoh 2,4; 23,1). Ketika para
murid lari, Maria tetap tinggal di bawah Salib (lih Yoh 19,25-27); kemudian,
saat Pentakosta, mereka berkumpul di sekitarnya menantikan datangnya Roh Kudus
(lih Kis 1,14).
42. Kehidupan para
kudus tidak terbatasi pada biografi selama masa hidup mereka, namun pula
termasuk kehadiran dan karya mereka di dalam Allah setelah kematian. Dalam para
kudus ssatu hal menjadi pasti: mereka yang mendekat pada Allah tidak ditarik
dari manusia, namun menjadi semakin sepenuhnya bersatu dengannya. Tentang ini
kita tidak menemukan fakta yang sangat jelas dari pada yang terjadi dalam diri
Maria. Kata-kata yang dinyatakan oleh Tuhan yang tersalib pada muridnya - pada
Yohanes dan dengannya pada semua murid Yesus, "Inilah ibumu!" (Yoh
19,27) - senantiasa terwujud secara baru dalam setiap generasi. Maria sungguh
adalah bunda umat beriman. Pria dan wanita di setiap masa dan dari segala
tempat datang pada kemurahan hati bundawinya dan pada keperawanan murni dan
suci dalam dirinya, menyampaikan semua kebutuhan dan keinginan, kegembiraan dan
kepedihan, saat-saat kesepian maupun kebersamaan yang dialaminya. Mereka
senantiasa mengalami kebaikan dan kasihnya yang tak pernah gagal, yang
dialirkannya dari kedalaman hatinya. Kesaksian penuh rasa syukur dari semua
benua dan budaya yang selalu dinyatakan padanya merupakan suatu pengakuan akan
kasih murni yang tidak mencari dirinya sendiri namun senantiasa mau memberi.
Pada saat yang sama, devosi umat beriman menunjukkan suatu intuisi yang tidak
pernah bisa salah akan betapa mungkin kasih semacam itu mungkin: karena itu
adalah buah dari relasi paling mendalam dengan Allah, yang dengannya jiwa
sepenuhnya memandang-Nya - suatu kondisi yang memampuan mereka, yang minum dari
sumur kasih Allah menjadi karenanya sumur yang darinya "mengalir
aliran-aliran air hidup" (Yoh 7, 38). Maria, Perawan dan Bunda, menunjukkan
kepada kita apakah kasih itu dan dari mana berasal dan menemukan daya uang
senantiasa memperbaharuinya. Maka kepadanya kita percayakan Gereja dan tugas
perutusannya akan pelayanan kasih:
Santa
Maria, Bunda Allah,
engkau
telah membawakan ke dunia cahaya sejati,
Yesus,
Puteramu - Putera Allah.
Engkau
telah sepenuhnya menanggalkan dirimu
memberikan
diri sepenuhnya pada panggilan Allah
dan
karenanya engkau menjadi sumber kebaikan yang mengalir dari-Nya
Tunjukkanlah
Yesus kepada kami, bimbing kami pada-Nya
Ajarilah
kami untuk mengenali dan mencintai-Nya,
sehingga
kami pun mampu menjadi
kasih
sejati dan sumber air kehidupan
di
tengah kehausan dunia ini.
Diberikan di Roma,
di Basilika Santo Petrus, pada tanggal 25 Desember, Hari Raya Kelahiran Tuhan,
pada tahun 2005, tahun pertama masa kepausan saya.
BENEDICTUS PP. XVI
No comments:
Post a Comment